Wednesday 1 May 2013

LELAHNYA HIDUP SENDIRI

oleh:Ust Abu Ja'far untuk Lajangiyyun.

"Lelahnya Hidup Menyendiri"
Saudaraku.. Suatu senja, saat angin sepoi-sepoi menyapa wajah, ada seorang teman yang menyanyikan gending-gending hatinya. Ia berbicara dari relung hatinya yang paling dalam. Matanya berkaca-kaca menerawang jauh membelah zaman. Tetesan bening berjatuhan dari kelopak matanya yang sayu. Ia mengungkapkan angan-angannya perihal seorang dara manis tambatan hatinya, yang selalu memenuhi cakrawala pikirannya.

Hasrat dan dorongan alamiah untuk mempunyai teman hidup telah banyak menyita konsentrasinya. Terlebih usia yang semakin merambat naik. Daya serap terhadap suatu ilmu pengetahuan tidaklah setajam dulu. Konsentrasi dalam menjalani hidup seolah-olah hilang seiring dengan perginya musim dingin.

Shalat yang dilakukannya sangat jauh dari kata khusu’. Ketika membaca do'a iftitah, "Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan es," yang muncul justru bayangan puteri salju melambai-lambai menarik simpati. Demikianlah semakin lama, bacaan shalat pun semakin hilang dari nilai penghayatan.

Hidup menyendiri memang sangat melelahkan. Jiwa lunglai karena didera oleh perasaannya sendiri. "Kesendirian adalah kumpulan duka nestapa", demikian Khalil Gibran menyindir para lajang.

Wajar, jika syekh Mustafa Siba'i menggambarkan,

ADZAB KUBUR

Tahukah anda?

Setiap kali Khalifah Utsman bin Affan berdiri di pinggir kuburan,mbeliau selalu menangis,mhingga Air matanya membasahi jenggotnya.

Melihat pemandangan ini, sebagian orang bertanya kepada beliau:

Wahai Khalifah Utsman, ketika engkau mengingat surga dan neraka, engkau tidak menangis seperti ini. Namun setiap kali melihat kuburan, engkau menangis tersedu-sedu.

Khalfah Utsman menjawab: Aku melakukan hal ini, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
«الْقَبْرُ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ، فَإِنْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ»
Kuburan adalah tempat pertama yang akan engkau datangi pada perjalanan hidupmu di akhirat.

Bila engkau selamat di alam kuburan maka semua perjalananmu setelahnya lebih mudah. Namun bila engkau celaka di alam kuburan, maka perjalananmu selanjutnya lebih mengerikan." ( Ahmad dan lainnya)

HAJI DA UMRAH TANPA TERGANJAL KUOTA DAN TANPA BIAYA

HAJI DAN UMRAH TANPA BIAYA DAN TAK TERGANJAL KUOTA
Oleh:Ust Abu Ja'far

َﺗَﺎﻣَّﺔٍ ﺗَﺎﻣَّﺔٍ ﺗَﺎﻣَّﺔٍﻛَﺄَﺟْﺮِ ﺣَﺠَّﺔٍ ﻭَﻋُﻤْﺮَﺓٍ ﺗَﻄْﻠُﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻟَﻪُﺣَﺘَّﻰ ﻣَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟْﻐَﺪَﺍﺓَ ﻓِﻲ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔٍ ﺛُﻢَّ ﻗَﻌَﺪَ ﻳَﺬْﻛُﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪ "Barangsiapa yang melaksanakan shalat Subuh dengan berjama’ah kemudian duduk berdzikir mengingat Allah hingga matahari terbit, setelah itu ia shalat dua raka'at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah secara sempurna, sempurna, sempurna.” HR. Tirmidzi.

Saudaraku, Setiap orang yang jujur dengan keimanannya, tulus dalam azamnya, pasti mendamba dapat mengunjungi rumah kekasihnya, Allah swt. Seberapapun jarak yang harus ditempuhnya. Seberapapun biaya yang harus dikeluarkannya. Seberapapun waktu yang harus dihabiskannya.

Bersimpuh di Baitullah (rumah Allah), merupakan cita-cita terbesar umat Islam di belahan bumi manapun. Baik di Timur maupun Baratnya. Terlebih bagi kita yang mendapat keluasan rezki dan memiliki fisik yang prima. Sebab ibadah haji merupakan jalan pintas menuju surga. Haji dan umrah bukan sekadar paket rihlah ruhani biasa. Tapi, ia bergaransi surga dan pelebur kesalahan dan dosa.

Rasulullah saw bersabda, "Antara satu umrah ke umrah berikutnya sebagai penebus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga." (H.R; Bukhari).

Berapa banyak air mata yang tertumpah, karena harapan mengunjungi Ka'bah al Musyarrafah tak kunjung terwujud di alam realita. Mungkin karena biaya yang dibutuhkan belum terkumpul. Atau lantaran kondisi fisik yang sering didera sakit parah. Atau terganjal kuota, di mana kita harus menunggu sepuluh tahun untuk dapat berangkat ke sana jika tahun ini kita baru mendaftarkan diri.

Adakah di antara kita yang tak ingin masuk surga dan terhapus kesalahan dan dosa-dosanya? Tentu tidak ada. Selama ada iman di dada kita walaupun hanya setebal kulit ari. Dan semua kita pun sadar, bahwa tidak mudah masuk ke dalam surga. Karena surga merupakan barang dagangan Allah yang tak murah harganya. Dan tak mudah untuk menggapainya.

Saudaraku, Jika kita termasuk mereka yang bersedih, karena belum mampu mengunjungi baitullah, maka kita tak perlu berlama-lama larut dalam kesedihan. Jangan kita biarkan hati kita gelisah dan khawatir berlebihan menunggu panggilan-Nya yang masih sayup-sayup terdengar di telinga kita.

Selama kita berupaya maksimal mencari jalan menuju ke rumah-Nya. Selama semangat kita mengunjungi baitullah tetap membara dan menggelora. Tak lapuk ditelan masa. Tak sirna termakan usia. Maka jalan menuju ke sana terbentang luas di hadapan kita. Bahkan kita dapat mengunjungi baitullah setiap hari, jika kita mau. Tidak menunggu waktu sampai satu tahun. Dan tak perlu mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah. Tak tersandung kuota. Berbahagialah bagi kita yang mampu memaksimalkan peluang ini.

Saudaraku, Syekh Muhammad Jam'ah al Halbusi, menyebutkan dalam salah satu artikelnya bahwa ada beberapa amalan yang pahalanya sebanding ibadah haji atau umrah. Di antaranya:

Pertama, berniat dengan sungguh-sungguh untuk mengunjungi baitullah. Dengan niatan yang tulus suci akan mengelompokan kita dalam kafilah haji dan umrah walaupun kita tidak berada di tengah-tengah mereka. Karena ada uzur yang membatasi keinginan kita.

Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa sekembalinya Nabi saw dari perang Tabuk dan Madinah sudah berada di depan mata, beliau bersabda kepada para sahabatnya,

“Sesungguhnya di Madinah ada orang-orang, yang kalian tidak menempuh sebuah perjalanan dan tidak melewati sebuah lembah; melainkan mereka bersama-sama kalian, mereka terhalangi udzur berupa sakit” dan dalam riwayat yang lain, “Melainkan mereka berkongsi dengan kalian dalam pahala”, H.R Bukhari.

Karena niat yang ikhlas dan tulus disertai dengan kesungguhan usaha maksimal, sebagian sahabat mendapatkan pahala berjihad di jalan Allah. Walaupun jasad mereka tidak bersama para mujahidin. Namun hati dan semangatnya selalu menyertai mereka. Sakit dan uzur lainnya yang menghalangi mereka tidak berangkat ke Tabuk. Dan bukan karena malas atau takut berjihad seperti yang diperbuat oleh kaum munafikin.

Demikian pula dengan ibadah haji. Selama niat yang menggelora telah menghujam di dada. Do'a kepada yang di atas telah ditengadahkan. Usaha maksimal telah dilakukan. Namun karena ada uzur yang melekat di tubuh kita, baik karena biaya maupun uzur lain seperti sakit dan yang senada dengan itu. Insyaallah, kita tercatat di sisi-Nya sebagai orang yang berhaji di jalan Allah swt.

Kedua; Melaksanakan shalat sunnah dua raka'at di waktu syuruq (terbit matahari), yang di awali dengan shalat Subuh berjama'ah di masjid lalu duduk berzikir kepada Allah.

Rasulullah saw bersabda,

"Barangsiapa shalat Subuh berjama’ah kemudian duduk berdzikir mengingat Allah hingga matahari terbit, setelah itu ia shalat dua raka'at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah secara sempurna, sempurna, sempurna.” HR. Tirmidzi.

Saudaraku, Ada pertanyaan yang menggelayut di benak kita, apakah Nabi saw biasa melakukan shalat syuruq ini? Tentu saja, karena beliau adalah suri tauladan kita di semua lini kehidupan kita.

Imam Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Umar ra berkata, "Adalah Nabi saw selepas shalat Subuh, beliau tidak meninggalkan majlisnya sehingga beliau melakukan shalat. Beliau bersabda, "Siapa yang shalat Subuh (di masjid), lalu ia tetap duduk di majlisnya sehingga ia menunaikan shalat (sunnah), maka amalannya itu sebanding dengan haji dan umrah yang maqbul (diterima)."

Ketiga; Menghadiri majlis ilmu di masjid. Imam Thabrani dan Hakim meriwayatkan dari Abu Umamah dari Nabi saw bersabda, "Siapa yang bergegas pergi ke masjid. Tujuannya tidak lain kecuali untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya kepada orang lain, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan haji secara sempurna."

Namun ironinya, banyak masjid yang megah dan mentereng di sekitar kita, tapi di dalamnya sepi dari majlis ilmu. Seolah-olah masjid dibangun hanya sekadar untuk pelaksanaan shalat lima waktu belaka.

Padahal di zaman Nabi saw, masjid selain sebagai tempat ibadah. Ia juga berperan sebagai madrasah tempat menimba ilmu. Sebagai markas pengkaderan para sahabat. Menyelesaikan persoalan masyarakat dan umat. Membahas strategi perang dan seterusnya.

Keempat, Keluar menuju masjid dalam keadaan suci untuk menunaikan shalat fardhu dan shalat dhuha.

Abu Umamah ra meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa bersuci dari rumahnya, kemudian ia keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat fardhu, maka pahalanya seperti pahala seorang haji dalam keadaan ihram. Dan barangsiapa yang menunaikan shalat dhuha, maka pahalanya seperti pahala orang yang menunaikan ibadah umrah.” (H.R; Abu Daud).

Kelima, melaksanakan umrah di bulan Ramadhan. "Umrah di bulan Ramadhan sebanding haji bersamaku." Demikian sabda Nabi saw dalam riwayat Muttafaq alaih.

Keenam, Berbakti kepada kedua orang tua. Karena Rasulullah saw pernah berwasiat kepada salah seorang sahabat untuk berbakti kepada ibu (karena tinggal ibunya yang masih hidup), lalu beliau bersabda, ”Bertakwalah kepada Allah dengan cara berbakti kepada ibumu. Jika engkau lakukan yang demikian itu, maka engkau seperti orang yang menunaikan haji, umrah, dan orang yang berjihad.” (H.R; Thabrani dan Baihaqi).

Saudaraku, Itulah beberapa amalan yang pahalanya setara dengan pahala orang yang sedang berhaji dan berumrah. Dan ini merupakan bukti kemurahan Islam. Di mana semua umat Islam, bisa meraih pahala haji dan umrah. Yang dapat dikejar oleh siapa saja. Bahkan oleh orang yang tak berharta. Tak memiliki jabatan. Tua renta. Dan siapa saja. Dimanapun dan bagaimanapun keadaannya.

Namun yang perlu kita pahami saudaraku, Bahwa amal-amal ini tidak menggugurkan kewajiban berhaji dan berumrah. Orang-orang yang telah mengerjakan amal-amal ini tetap wajib melaksanakan ibadah haji dan umrah. Tentu bagi mereka yang mampu dan mendapat kelapangan rezki.

Saudaraku, Selanjutnya terserah kita. Apakah kita ingin meraih pahala haji dan umrah yang terbentang di hadapan kita. Atau kita membiarkan diri kita tertinggal jauh dari orang-orang yang Allah beri keluasan harta terhadap mereka. Di mana mereka bisa mengunjungi baitullah kapan mereka mau. Sementara kita hanya mampu meneteskan air mata kesedihan.

Jika kita tak mampu melakukan amal-amal di atas yang pahalanya sebanding haji dan umrah. Memang kita layak untuk menangis. Menangisi kelemahan azam dan kerapuhan semangat ubudiyah kita. Menangisi diri kita yang telah mati. Meskipun nafas masih di kandung badan.

Yah, kita telah mengalami kematian hati dan semangat. Di mana hati kita tak lagi dapat menggerakkan anggota tubuh kita untuk mendaki puncak ubudiyah. Dan membiarkannya terlempar ke jurang kemalasan dan keringkihan ruhani. Wallahu a'lam bishawab.

DERAJAT HADITS "Membaca Surat Yasin Di Hari Jum'at Dikuburan Kedua Orangtua"

   Dari Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa berziarah kubur kedua orang tuanya atau salah satunya pada setiap hari Jumat, kemudian membaca surat Yasin, maka dia akan diampuni sebanyak ayat dan huruf surat itu.” (HR. Ad Dailami)
Ustadz, hadits Ad Dailami termasuk dhaif? (Hafizh Nashir)

Jawaban:
Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d
Bunyi hadits tersebut adalah sebagai berikut:
من زار قبر والديه كل جمعة ، فقرأ عندهما أو عنده ( يس ) غفر له بعدد كل آية أو حرف ”
Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya, lalu dia membaca di sisi keduanya atau salah satunya surat Yasin, maka dia akan diampuni sebanyak ayat atau huruf surat itu.

Hadits ini diriwayatkan oleh:
Imam Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan No. 2026
Imam Abdul Ghani Al Maqdisi dalam As Sunan, 2/91
Imam Ibnu ‘Adil dalam Al Kamil, 5/152

Sanad hadits ini:
     Abu Muhammad bin Hayyan berkata kepadaku Abu Ali bin Ibrahim, berkata kepadaku Abu Mas’ud Yazid bin Khalid, berkata kepadaku ‘Amru bin Ziyad Al Baqal Al Khurasani, berkata kepadaku Yahya bin Sulaiman, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, dari ayahnya, lalu disebut hadits di atas.
Hadits ini palsu dan tidak ada dasarnya menurut umumnya para ulama.
Imam Ibnu ‘Adi Rahimahullah berkata:
وهذا الحديث بهذا الإسناد باطل ليس له أصل
Hadits ini, dengan isnad seperti ini adalah batil, dan tidak ada dasarnya. (Al Kamil fidh Dhuafa, 5/152)
Beliau mengomentari ‘Amru bin Ziyad Al Baqal sebagai berikut:
ولعمرو بن زياد غير هذا من الحديث منها سرقة يسرقها من الثقات ومنها موضوعات وكان هو يتهم بوضعها
Untuk ‘Amru bin Ziyad, selain pada hadits ini, ada hadits lain yang dicurinya dari orang-orang terpercaya dan diantaranya banyak yang palsu, dan dia dituduh memalsukannya. (Ibid)
Sedangkan Imam Ad Daruquthni berkata: “Yadha’ul hadits – dia memalsukan hadits. (Mizanul I’tidal, 3/261)

Imam Adz Dzahabi berkata tentang ‘Amru bin Ziyad: “Wadhaa’ –pemalsu hadits. (Talkhis Kitab Al Maudhu’at, No. 940)
     Oleh karena itu, Imam Ibnul Jauzi memasukan hadits ini sebagai deretan hadits palsu. (Al Maudhu’at, 3/239)
Imam As Suyuthi menguatkan hadits ini, tetapi …
Sementara itu, Imam As Suyuthi nampak membela hadits ini dengan mengatakan: Lahu syaahid – hadits ini memiliki penguat. (Lihat Al La-ali Al Mashnu’ah fil Ahadits Maudhu’ah, 2/365)
Lalu Imam As Suyuthi menyebutkan hadits yang Beliau sebut sebagai syahid (penguat), yakni:
من زار قبر أبويه أو أحدهما كل جمعة غفر له وكتب برا
Barang siapa yang menziarahi kubur kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat, maka dia diampuni dan dicatat baginya telah berbakti kepadanya. (HR. Ath Thabarani, Al Awsath No. 6114, dari Abu Hurairah)
     Tetapi, ternyata hadits ini pun juga cacat dengan cacat yang tidak kalah parahnya, yakni ada tiga orang perawi yang bermasalah:
Abdul Karim Abu Umayyah, oleh Imam As Suyuthi sendiri dikatakan dhaif.
Yahya bin Al ‘Ala Al Bajali, seorang yang majhul (tidak dikenal)
Muhammad bin An Nu’man, juga majhul (Lihat Al La-ali Mashnu’ah, 2/366)
Namun, yang benar adalah Yahya bin Al ‘Ala bukan majhul (tidak dikenal), tetapi dia ma’ruf (dikenal), bahkan sebagian imam menyebutnya sebagai pembohong. Berikut ini rinciannya:
Imam Yahya bin Ma’in berkata tentang Yahya bin Al ‘Ala: Laisa bi syai’ – bukan apa-apa.
Imam Amru bin Ali berkata: Matrukul hadits jiddan – haditsnya sangat ditinggalkan.
Imam Abu Zur’ah berkata: fi haditsihi dha’f – pada haditsnya ada kelemahan.
Imam Abu Hatim berkata: Laisa bil qawwi – bukan orang yang kuat. (Lihat Imam Ibnu Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 9/180)
Imam Ahmad berkata: Kadzdzaab yadha’ul hadits – pembohong dan pemalsu hadits. Bahkan Beliau menyebut Yahya bin Al ‘Ala sebagai rafidhi – syiah.
Imam Amru bin Ali, Imam An Nasa’i, Imam Al Azdi berkata: matrukul hadits – haditsnya ditinggalkan.
Imam Ad Daruquthni mengatakan: dhaif – lemah.
Imam Ibnu ‘Adi mengatakan: dhaif, pada hadits terdapat banyak hadits-hadits palsu.
Imam Ibnu Hibban mengatakan: tidak boleh berhujjah dengannya. (Lihat Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, 1/144, 3/200. Juga Imam Ibnul Mubarrad, Bahrud Dam No. 1162)
Imam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Waki’ mengatakan bahwa Yahya bin Al ‘Ala memalsukan hadits tentang cara menanggalkan sandal sampai dua puluhan hadits.
Imam Al Jauzujaani mengatakan: ghairu muqni’ – tidak memuaskan. Pada kesempatan lain mengatakan: Syaikh waahiyun – seorang syaikh yang lemah.

Yusuf bin Sufyan mengenalinya dan mengingkarinya. As Saaji berkata: munkarul hadits – haditsnya munkar.
Ad Daulabi berkata: matrukul hadits. (Lihat Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 11/229)
Oleh karena itu, apa yang disebut Imam As Suyuthi bahwa Yahya bin Al ‘Ala seorang yang tidak dikenal, telah terkoreksi oleh pernyataan para imam yang sedemikian banyaknya tentang dia.
Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah: