Saturday 10 August 2013

KOREKSI KITAB MANAQIB SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI

     Syekh Abdul Qadir al Jailani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya. Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban.


Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jailani. Al-Jailani merupakan penisbatan pada Jilan, yaitu daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jilan, tempat ini disebut juga dengan Jailan dan Kilan.


Kitab-kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaelani yang banyak beredar di Indonesia, pada umumnya disusun oleh penulis-penulis Indonesia yang maraji’nya (sumber pengambilan) dari kitab-kitab berbahasa Arab yang antara lain, seperti Tafrijul Khathir, Muzkin Nufus, Lujainid-Dani.


Buku-buku tentang BARJANZI versi Indonesia antara lain :
1. Madarij Al-Su’ud ila Iktisah Al-Burud – Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Jawi Al Bantani. Berbagai Terbitan.
2. Sabil Al-Munji (berbahasa Jawa) - Abu Ahmad Abd Al-Hamid Al-Qandali (Kendal)
3. Nur Al-Lail Al-Duji wa Miftah Bab Al-Yasar (berbahasa Jawa) – Hasan Al-Attas (Pekalongan).
4. Munyah Al-Martaji fi Tarjamah Maulid Al Barjanzi (berbahasa Jawa) – Asrari Ahmad (Wonosari Tempuran).
5. Al Qaul Al-Munji Ala Ma’ani Al Barjanzi (berbahasa Jawa) – Sa’ad Bin Nashir bin Nabhan. (Surabaya).
6. Badr Al-Daji Fi Tarjamah Maulid Al-Barjanzi (berbahasa Indonesia) – M. Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya, Rembang).


Di bawah ini buku-buku Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani (asal terjemahan dari- Lujjain Al-Dani. Penulis, Ja’far Ibn Hasan Ibn ‘Abd Al-Karim Ibn Muhammmad (1690-1764) beliau juga menulis buku Al-Iqd Al Jawahir (al-Barjanzi) dan Qishshah Al-Mi’raj); di terbitkan di Indonesia dengan berbagai versi ;
1. Jauhar Al-Asnani ‘Ala Al-Lujjain Al-Dani Fi Manaqib Abd Al Qadir – Abu Ahmad Abd Al Hamid Al-Qandali (Kendal) : Al Munawwir.
2. Al-Nur Al Burhani Fi Tarjamah Al Lujjain Al-Dani – Muslih Bin Abd Al Rahman Al Maraqi (Semarang), Toha Putra.
3. Lubab Al Ma’ani Fi Tarjamah Lujjain Al-Dani – Abu Muhammad Salih Mustamir Al Hajaini (Kudus), Menara.
4. Al Nur Al-Amani Fi Tarjamah Al Lujjain Al-Dani – M. Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya Rembang) ; Terbitan sendiri.
5. Khulashah Al Manaqib Li- Al-Syaikh ‘Abd Al-Qadir ‘Abd Al Qadir Al-Jilani – Asrari Ahmad (Wonosari, Tempuran) Surabaya, ‘ Istiqomah.
6. Wawacan Kangjeng Syaikh ‘Abd Al-Qadir Jilani R.A (berbahasa Sunda) Bandung, Sindangdjaja.
7. Manaqib Syeikh Abdulqadir Jailani Radhiyallahu Anhu (berbahasa Arab dan Indonesia) – Abdallah Shonhaji. Semarang, Al-Munawir.
8. Lubabul Ma’ani – Abi Shaleh Mustamir (Juana, Jawa Tengah)
9. Miftahul Babil Amani - Moh. Hambali. (Semarang, Jawa Tengah)
10. An Nurul Burhani – A. Lutfi Hakim dkk (Semarang, Jawa Tengah)
11. Nailul Amani – A.Subhi Masyhadi. (Pekalongan, Jawa Tengah).




Koreksi Terhadap Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani


Dalam kitab Manaqib tersebut tertulis;


o Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah duduk selama 30 tahun dengan tidak bergeser dari tempatnya karena ketaatannya kepada nabi Khidir.


Pada waktu pertama kali masuk Irak, Syaikh Abdul Qadir Jailani ditemani Khidir, dan Syaikh belum pernah mengenalnya sebelum itu. Kemudian Khidir memberikan isyarat kepadanya agar ia tidak disalahi dan kalau sampai hal itu terjadi maka akan menjadi sebab perpisahan antara keduanya. Maka berkatalah Khidir kepadanya: “Duduklah di sini !” Maka beliaupun duduk ditempat yang ditunjuk oleh Khidir itu selama tiga tahun, yang selalu dikunjunginya setiap setahun sekali dan katanya lagi: “Janganlah engkau bergeser dari tempat itu sampai aku datang” (Lubabul Ma'ani hal. 20)


Bantahan :
Cerita ini terlalu mengada-ada. Duduk selama 3 tahun tanpa beranjak/bergeser dari tempat duduknya adalah mustahil. Bagaimana Syaikh Abdul Qadir Jailani mengambil air wudhu, Shalat Jum’at dan Shalat ‘Id ?




o Diceritakan juga bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah bermimpi junub sebanyak 40 kali dalam waktu semalam. (Lubabul Ma'ani, hal. 20-21).


Bantahan :
Kebohongan yang luar biasa, cukupkah waktu untuk 40 kali tidur, 40 kali bermimpi bersetubuh dan 40 kali mandi janabat ?




o 100 ulama merobek-robek baju sendiri (Lubabul Ma'ani, hal. 23-24)


Bantahan :
Sungguh tidak masuk akal dan tidak pernah terbayang dalam angan-angan orang yang normal akalnya bahwa seorang yang saleh dan ulama yang ikhlas seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani sampai hati melihat para ‘aimmah merobek-robek pakainnya dan bertingkah polah seperti orang yang tidak waras.




o Di antara kekeramatan Syaikh Abdul Qadir Jailani, bahwa seekor burung Elang yang terbang di atas majlis syaikh, dimohon kepada angin agar dipenggal leher burung tersebut, maka putuslah leher burung Elang tersebut. (Lubabul Ma'ani, hal. 59)


Bantahan :
Burung adalah binatang yang tidak dibekali akal seperti manusia dan tidak dibebani tata tertib hidup serta tidak terikat dengan berbagai aturan sesamanya. Ia terbang mengikuti naluri hayawani tanpa memperdulikan apakah ada makhluk lain yang terganggu olehnya. Maka alangkah teganya hati Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh burung Elang tersebut.


أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ وَيَقْبِضْنَ ۚ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَٰنُ ۚ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu”. (QS. Al Mulk : 19).


أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. An Nur : 41).




o Diantara kekeramatan lainnya. Matinya seorang pelayan karena sorotan mata Syaikh Abdul Qadir Jailani karena kesalahannya tidak sudi meletakkan kendi kearah kiblat. (Lubabul Ma'ani, hal. 58-59)


Bantahan :
Peristiwa kesalahan yang tidak patal sehingga membuat Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh, apakah mungkin dilakukan bagi seorang syaikh yang berakhlaq mulia ?




o Syaikh Abdul Qadir Jailani meramal nasib (Lubabul Ma'ani, hal. 59-64)


Bantahan :
Mirip Mama Lauren aja.




o Syaikh Abdul Qadir Jailani menjamin para muridnya masuk surga (Lubabul Ma'ani, hal. 80-81)


Bantahan :
Lebih hebat daripada Rasulullah

TRADISI MANAQIBAN YANG SALAH KAPRAH

     Salah satu acara ritual yang menjadi tradisi sebagian masyarakat adalah manaqiban. Selain memiliki aspek seremonial, manaqiban juga memiliki aspek mistikal. Sebenarnya kata manaqiban berasal dari kata ‘manaqib’ (bahasa Arab), yang berarti biografi, kemudian ditambah dengan akhiran ‘an’ (bahasa Indonesia) menjadi manaqiban yang berarti kegiatan pembacaan manaqib (biografi) Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, seorang wali yang sangat legendaris di Indonesia.

     Kalau dilihat secara ilmiah kitab manaqib itu memang tidak istimewa. Tetapi tampaknya dalam kehidupan para penganut tarekat, manaqiban merupakan kegiatan ritual yang tidak kalah sakralnya dengan ritual-ritual lain. Bahkan manaqiban ini dilaksanakan oleh kebanyakan masyarakat dan santri pedesaan di Pulau Jawa dan Madura.

Isi kandungan kitab manaqib itu meliputi silsilah nasab Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya, di samping itu tercantum juga doa-doa bersajak (nadham) yang bermuatan pujian dan tawassul (berdoa kepada AllohSubhanahu wa Ta’ala melalui perantaraan ) Syaikh ‘Abdul Qodir.

Harapan para pengamal manaqib untuk mendapat keberkahan dari pembacaan manaqib ini didasarkan atas adanya keyakinan bahwa Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani adalah quthb al-’auliya (wali quthub) yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah dalam kehidupan seseorang. Hal ini dapat dipahami dari sya’ir berikut:

عِبَادَ اللهِ رِجَالَ اللهْ أَغِيْثُـوْنَا لأَجْـلِ اللهْ

وَكُوْنُوْا عَوْننَاَ لِلَّهْ عَسَى نَحْظَى بِفَضْلِ اللهْ

عَلَى اْلكَافِيْ صَلاَةُ اللهْ عَلَى الشَّافِيْ سَلاَمُ اللهْ

بِمُحْيِ الدِّيْنِ خَلِّصْنَا مِنَ اْلبَلْــوَاءِ يَا اَللهْ

وَيَا أَقْطَابْ وَيَا أَنْجَابْ وَيَا سَادَاتْ وَيَا أَحْبَابْ

وَأَنْتُمْ يَاأُولِي اْلأَلْبَابْ تَعَالَوْا وَانْصُرُوْا لِلَّهْ

سَأَلْنَاكُمْ سَأَلْنَاكُمْ وَلِلزُّلْفَى رَجَوْنَاكُمْ

وَفِيْ أَمْرٍ قَصَدْنَاكُمْ فَشُدُّوْا عَزْمَكُمْ للهْ

Artinya:

“Wahai para hamba Alloh dan tokoh-tokohnya Alloh…

tolonglah kami karena Alloh.

Jadilah tuan semua penolong kami karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala …

semoga kami berhasil meraih karunia Alloh.

Shalawat Alloh semoga terlimpah atas al-Kafi (yang mencukupi yakni RosulullohShallallahu alaihi wa sallam ), dan semoga keselamatan dari Alloh terlimpah atas asy-Syafi (yang menyembuhkan yakni Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam).

Dengan kemuliaan Muhyiddin (yakni Syaikh ‘Abdul Qodir)…

lepaskanlah kami dari berbagai macam musibah wahai Alloh…

Wahai para wali quthub, wahai orang-orang yang baik, wahai para tuan-tuan dan para kekasih…

Dan kalian wahai orang-orang yang berakal sempurna…

kemarilah dan tolonglah kami karena Alloh.

Kami meminta kepada kalian, kami meminta kepada kalian…

Karena kedekatan (kalian di sisi Alloh ) kami mengharap kepada kalian.

Untuk suatu perkara kami menghadapkan diri kepada kalian…

maka kencangkanlah tekad kalian (untuk menolong kami) karena Alloh.”

Tetapi dari sekian banyak muatan mistis dan legenda tentang Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, yang paling dianggap istimewa dan diyakini memiliki berkah besar dalam upacara manaqiban adalah karena dalam kitab manaqib terdapat silsilah nasab Syaikh. Dengan membaca silsilah nasab ini seseorang akan mendapat berkah yang sangat banyak.

Secara umum diterimanya ritual manaqiban ini oleh para Kiai di Indonesia dan di Jawa khususnya, karena di dalam manaqib disebut-sebut nama para nabi dan orang-orang sholih, khususnya pribadi Syaikh sendiri. Hal tersebut diyakini sebagai suatu amal sholih (kebaikan), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

ذِكْرُ اْلأَنْبِيَاءِ مِنَ اْلعِبَادَةِ وَذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ الْمَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ اْلقَبْرِ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ .

“Mengingat para Nabi adalah ibadah, mengingat orang-orang sholih adalah kafarat (penghapusan dosa), mengingat kematian adalah shadaqah, dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke surga.” (HR. ad-Dailami).

Disamping karena motifasi kafarat (penghapusan dosa) tersebut, kebanyakan masyarakat pengamal manaqib pun meyakini bahwa ritual manaqiban mendatangkan banyak manfaat seperti kesuksesan usaha, terkabulnya doa, dan berkah-berkah lain sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Pelaksanaan manaqiban di dalam masyarakat biasanya diadakan dalam rangka selamatan, tasyakuran dan kegiatan-kegiatan penting lainnya.

Para pengamal manaqiban meyakini bahwa ritual ini adalah suatu wasilah (syari’at) agar hajatnya tercapai dan terkabul. Di saat pembacaan manaqib sebagian jamaah menghadirkan botol-botol berisi air yang diletakkan di depan guru dengan keyakinan bahwa air yang telah dibacai manaqib tersebut akan membawa keberkahan.

BEBERAPA CATATAN PENTING DALAM RITUAL MANAQIB

Di dalam ritual manaqiban ini terdapat beberapa kemungkaran yang membuatnya bukan termasuk amal sholih apalagi diyakini bisa membawa keberkahan. Kemungkaran-kemungkaran tersebut di antaranya ialah:
Ber-istighatsah kepada Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani dan para wali dalam memohon pertolongan dan dilepaskan dari kesulitan. Dengan kata lain meminta dan berdoa kepada Syaikh.

Hal itu terlihat jelas dalam bait-bait berikut:

“Wahai para hamba Alloh dan tokoh-tokohnya Alloh…

tolonglah kami karena Alloh.

Jadilah tuan semua penolong kami karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala…

semoga kami berhasil meraih maksud dengan keutamaan Alloh.

Wahai para wali quthub, wahai orang-orang yang baik, wahai para tuan-tuan dan para kekasih…

Dan kalian wahai orang-orang yang berakal sempurna,

kemarilah dan tolonglah kami karena Alloh.

Kami meminta kepada kalian, kami meminta kepada kalian…

Karena kedekatan (kalian di sisi Alloh ) kami mengharap kepada kalian.

Untuk suatu perkara kami menghadapkan diri kepada kalian,

maka kencangkanlah tekad kalian (untuk menolong kami) karena Alloh.”

Padahal berdoa dan istighatsah adalah hak Alloh semata dan hanya boleh ditujukan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Berdoa termasuk salah satu ibadah, dan ibadah hanya boleh dipersembahkan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata. Tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya. Bukankah seorang Muslim dalam setiap shalatnya berikrar di hadapan Alloh Subhanahu wa Ta’ala:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. al-Fatihah [1]: 5).

Lantas mengapa di luar shalat ia meminta kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala? Bukankah ini suatu pelanggaran atas ikrar tersebut?

Sesungguhnya menyeru kepada selain Alloh adalah suatu kezhaliman yang besar. Alloh berfirman:

“Dan janganlah kamu memohon kepada kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Alloh; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Yunus [10]: 106).

Sebenarnya orang-orang yang telah meninggal itu tidak tahu menahu dan tidak sadar bahwa ada sebagian orang yang memohon kepadanya. Oleh karena itu, memohon kepada para wali quthub yang telah wafat adalah bukti akan kelemahan akal pelakunya. Ia berpaling dari Dzat Yang Maha Mendengar lagi Mengabulkan doa lalu meminta kepada seorang hamba yang tidak mendengar doa orang-orang yang meminta kepadanya. Adakah kelemahan akal yang lebih parah dari ini? Perhatikanlah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikut:

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada sesembahan-sesembahan selain Alloh yang tiada dapat memperkenankan (doanya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka. “ (QS. Al-Ahqaaf [46]: 5).

Tawassul kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan seorang sholih yang telah meninggal dalam artian menjadikan seseorang sebagai perantara dalam doanya kepada AllohSubhanahu wa Ta’ala adalah suatu kesyirikan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Ia bukanlah tawassul meskipun para pengamalnya menamakan itu sebagai tawassul. Renungkanlah peringatan Alloh berikut ini:

“Barangsiapa yang memohon di samping Alloh sesembahan yang lain padahal tidak ada hujjah baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun [23]: 117)

“Dan orang-orang yang kalian mohon selain Alloh mereka tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kalian menyeru mereka, maka mereka tiada mendengar seruan kalian; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaan kalian. Dan di hari kiamat kelak mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir [35]: 13-14).

AllohSubhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini, bahwa hanya Dia-lah yang Maha Berkuasa dan Mampu mengurus segala sesuatu, bukan selain-Nya. Dan bahwasanya para sesembahan itu tidak dapat mendengar doa, apalagi untuk mengabulkan doa tersebut. Kalaupun seandainya mereka dapat mendengar, maka mereka tidak akan mampu mengabulkannya, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau menolak mudharat.

Jika di dalam ritual manaqiban tersebut tidak terdapat kemungkaran selain ini, yaitu ber-istighotsah dan berdoa kepada selain Alloh, niscaya ini sudah cukup menjadi alasan yang sangat kuat untuk meninggalkan tradisi ini. Karena, kesyirikan adalah suatu kemungkaran terbesar dan kezhaliman terberat. Semua dosa masih mungkin diampuni oleh AllohSubhanahu wa Ta’ala selain syirik. Sedangkan syirik, jika pelakunya tidak bertaubat sampai meninggalnya, maka surga diharamkan baginya. Renungkanlah firman AllohSubhanahu wa Ta’ala berikut ini:

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutu-kan Alloh, maka sungguh Alloh mengharamkan baginya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. al-Ma’idah [5]: 72)
Adanya ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dalam menyanjung dan memposisikan Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani. Ini bisa dilihat jelas oleh siapapun yang membaca dan memahami kitab manaqib.
Hukum mengadakan ritual dan peringatan semacam manaqiban ini tidak berbeda dengan hukum memperingati maulid NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu terlarang. Karena, hal ini termasuk menambahkan sesuatu yang baru dalam agama. Sedangkan hal ini dilarang keras dalam syariat Alloh dan Rasul-Nya.
Bertawassul dengan kedudukan atau kemuliaan Syaikh dalam berdoa kepada AllohSubhanahu wa Ta’ala. Meskipun ini bukan termasuk syirik akan tetapi ia adalah suatu bid’ah dan sarana menuju kesyirikan. Tawassul tersebut di antaranya pada bait berikut:

“Dengan kemuliaan Muhyiddin (yakni Syaikh ‘Abdul Qodir)… lepaskanlah kami dari berbagai macam musibah ya Alloh…”

Catatan penting:
Jika ada yang berkata, “Kami meminta kepada mereka adalah agar mereka berdoa kepada Alloh untuk kami. Sebenarnya kami tidaklah meminta kepada mereka, akan tetapi meminta supaya mereka mendoakan kami.”

Jawabannya: Hal ini adalah kesesatan dan kebodohan, karena mayit-mayit itu tidaklah mampu memperkenankan permintaan kalian, artinya mereka tidaklah mampu berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar mengabulkan permintaan kalian, karena manusia itu apabila telah meninggal maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga perkara, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.

Dari Abu Huroiroh Radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Maka mereka tidak memiliki amal sama sekali setelah meninggal dan tidak pula bisa berdoa untuk mereka setelah meninggal, dan mereka tidak dapat mengabulkan doa bagi seorang pun.
Jika ada yang berkata, “Bukankah ‘Umar Radiyallahu ‘anhu pernah bertawassul dengan Abbas bin ‘Abdul Muththalib Radiyallahu ‘anhu pada saat terjadinya kemarau panjang dan ia berkata, ’Ya Alloh dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami.’?”

Jawabannya: Dalam shahih Bukhori terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasanya ‘Umar bin Khaththab Radiyallahu ‘anhujika terjadi kekeringan, maka beliau berdoa agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib. ‘Umar berkata, ’Ya Alloh, dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR. al-Bukhori).

Maksud bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam atsar di atas bukanlah “Bertawassul dengan memohon kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yakni mereka datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memohon kepada beliau agar berdoa kepada AllohSubhanahu wa Ta’ala untuk mereka. Oleh karena itu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -yaitu ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib Radiyallahu ‘anhu- yang saat itu masih hidup.
Manakah yang lebih mulia dan utama, para wali ataukah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentulah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian halnya, adakah salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meminta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya agar beliau berdoa untuk mereka? Para shahabat Radiyallahu ‘anhum tidak pernah melakukannya, padahal mereka sangat mencintai dan memuliakan RosulullohShallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mereka mengetahui bahwa tawassul dengan orang yang sudah mati dan memohon kepadanya termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam.
Jika ada yang berkata, “Kami pernah mempunyai suatu hajat, lalu kami melakukan manaqiban, maka alhamdulillah hajat kami dikabulkan oleh Alloh. Bukankah ini suatu bukti bahwa manaqiban adalah suatu wasilah yang diterima oleh Alloh?

Jawabannya: Yang harus kita ketahui, jika Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan hajat seseorang setelah ia melakukan manaqiban, maka itu bukanlah karena manaqiban tersebut akan tetapi sebenarnya Alloh menguji orang tersebut dengan suatu perkara yang Dia haramkan. Dengan kata lain ini adalah suatu istidroj dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.Istidroj artinya Alloh Subhanahu wa Ta’ala menarik hamba-Nya kepada kebinasaan secara berangsur-angsur dan dengan cara yang tidak ia sadari. Ujian dalam bentuk memudahkan kemaksiatan adalah suatu perkara yang terjadi pada umat-umat terdahulu dan juga pada umat ini. Sebagai contohnya ialah apa yang terjadi pada umat Nabi Dawud . Alloh berfirman:

“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang penduduk negeri yang terletak di dekat laut, ketika mereka melanggar larangan Alloh pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan laut, dan di hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan kefasikan mereka.” (QS. al-A‘roof [7]: 163).
Bagaimana dengan hadits yang dijadikan dalil oleh para pengamal manaqib? Yaitu hadits yang berbunyi:

ذِكْرُ اْلأَنْبِيَاءِ مِنَ اْلعِبَادَةِ وَذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ الْمَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ اْلقَبْرِ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ .

“Mengingat para Nabi adalah ibadah, mengingat orang-orang sholih adalah kafarat (penghapusan dosa), mengingat kematian adalah shadaqah, dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke surga.” (HR. ad-Dailami).

Jawabannya: Hadits tersebut dinilai maudhu’ (palsu) oleh para ulama hadits karena di dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama Ibnu al-Asy’ats. Dia ini dituduh pendusta oleh para ulama hadits.

SEKILAS TENTANG SYAIKH ‘ABDUL QODIR AL-JAILANI

Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan… wafat pada hari Sabtu malam, ba’da Maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj. Beliau meninggalkan tanah kelahiran, merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abu al-Khatthat, Abu al-Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Mukharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.

Untuk menelusuri aqidah Syaikh ‘Abdul Qodir Al-Jailani Rahimahullah kita mesti membaca kitab al-Ghunyah li Thoolibi Thoriiq al-Haq, sebuah kitab yang ditulis oleh beliau sendiri.

Dari kitab tersebut kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa Syaikh ‘Abdul Qodir al-JailaniRahimahullah adalah seorang ulama Ahlus Sunnah.


Yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang benar dalam aqidah dan peribadatannya. Bukan seperti yang dipahami oleh sebagian orang bahwa Ahlus Sunnah adalah nama untuk golongan atau jam’iyyah tertentu seperti NU misalnya. Tetapi Ahlus Sunnah adalah semua kaum muslimin yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengikuti cara beragama para sahabat Radiyallahu ‘anhum.



Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani Rahimahullah sendiri pernah mengatakan bahwa dalam hal pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya, beliau mengikuti manhaj (metode beragama) para imam Ahlus Sunnah. Akan tetapi sebagian orang berlebih-lebihan danghuluw dalam menyanjung dan mengagungkan Syaikh sehingga mengarang-ngarang kisah-kisah karomah Syaikh.

Ibnu Rajab Rahimahullah juga berkata, “Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani Rahimahullahadalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syaikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan dan karomah. Tetapi ada seorang yang bernama Abu Hasan Syathnufi mengumpulkan kisah-kisah keutamaan(manaqib) Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh. Dan cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini dan hatiku tidak tentram untuk mempercayainya. Oleh karena itu, aku tidak mau meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Kitab ini banyak menukil riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal (majhul). Juga terdapat perkara-perkara yang sulit diterima, kesesatan-kesesatan, klaim-klaim dan perkataan batil yang banyak. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani Rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa al-Kamal Ja’far al-Adfawi telah menyebutkan bahwa Syathnufi sendiri tertuduh berdusta dalam kisah-kisah yang diriwayatkannya pada kitab ini.”

‘Ali bin Idris, seorang murid Syaikh pernah bertanya kepada Syaikh ‘Abdul Qodir al-JailaniRahimahullah, “Wahai tuanku, apakah Alloh memiliki wali yang tidak berada di atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah?” Maka beliau menjawab, “Tidak pernah ada dan tidak akan ada.”

Sunday 30 June 2013

KISAH ISTRI SHALIHAH



kisah Nyata yang dapat di Ambil Ibrah..
saya nukil dari status Al-Firqah An-Najiyah.

KISAH JANDA MUDA SURIAH

Biasanya pasangan pengantin baru akan melalui hari-harinya dengan penuh keindahan dan kesenangan, serta tidak sedikit dari mereka yang pergi ke tempat rekreasi untuk berbulan madu.

Hal itu tidak berlaku bagipengantin baru di Suriah. Tidak
ada kata bersantai-santai atau bercumbu mesra seharian dengan pasangan, tetapi sang istri harus menyiapkan peralatan perang untuk suaminya, inilah kurang lebih yang diceritakan Fathi At-Tamimi, relawan Indonesia untuk Suriah yang saat
ini berada di Turki dalam status Facebooknya pada Rabu (22/08).
Dia menuturkan, Perempuan 20 tahun hafal Al-Qur’an itu dengan berlinang airmata menjahit sendiri baju tempur suaminya yang baru dinikahi dua mınggu saat pertempuran pertama memanggil para patriot membela agama.
Kemudian mengenakannya pada suatu malam yang diisi satu doa dibaca
agak keras berulang-ulang saat sujud panjang.
“Bila suamiku adalah milik para Bidadari-Mu,Jangan kembalikan ia padaku,

Bariskan sebanyak mungkin mereka di pintu langit untuk menjemputnya.
Tapi bila berjodoh sampai lama,Jangan Engkau biarkan sebuah lubangpun pada pakaian ini.

Aku akan bergembira apapun keputusan-Mu
Dan jadikanlah ia pendampingku di dunia dan di Surga.”
Sang suami yang mengintip adegan tersebut lalu bertempur bagai singa luka, tiga tank dirusak sendirian, Maju paling depan kembali paling belakang, Belum pernah punggungnya dilihat musuh, Melegenda dıantara kawan lawan, dibakar doa dan kepasrahan istri tercinta.

Disaat yang sama, istrınya bekerja keras membantu korban-korban perang, menghibur mereka,menjamin sandang pangan papan, merawat luka, mendoakan para pejuang, menjadi pemimpin grup relawan terdiri dari keluarga mujahidin atau yang ditinggalkan.

Ketika akhirnya Bidadari Surga menjemput suaminya di pintu langit, Para komandan grup seluruh Suriah bahkan yang bermarkas di gunung-gunung datang atau mengirim utusan berbela sungkawa;

“Suamimu, Abu Umar, Adalah pahlawan dan kebanggaan kami, Semoga akan banyak laınnya di negeri ini.”

Ketika banyak orang kaya di negara-negara Arab mendengar kisah beliau, Mereka berlomba melamarnya, Tapi beliau enggan dan membaktikan hıdupnya demi rakyat, berjanjı tıdak akan menikah lagi hingga Suriah bebas dari rezim Syi’ah. Perempuan itu namanya perlahan mulai berkibar, Jadi contoh ketabahan gadis-gadis lain dan
sekarang dijulukı "Oummus Suuri,
Ibunya Suriah". Namanya Ahlam Al-
A’ini darı Homs.

Kisah ini dicerıtakan langsung
oleh salah satu korban perang
yang sempat dırawat oleh beliau
di RS. lapangan di Homs dan
sekarang berada di kamp
pengungsian di Turki.

Wednesday 1 May 2013

LELAHNYA HIDUP SENDIRI

oleh:Ust Abu Ja'far untuk Lajangiyyun.

"Lelahnya Hidup Menyendiri"
Saudaraku.. Suatu senja, saat angin sepoi-sepoi menyapa wajah, ada seorang teman yang menyanyikan gending-gending hatinya. Ia berbicara dari relung hatinya yang paling dalam. Matanya berkaca-kaca menerawang jauh membelah zaman. Tetesan bening berjatuhan dari kelopak matanya yang sayu. Ia mengungkapkan angan-angannya perihal seorang dara manis tambatan hatinya, yang selalu memenuhi cakrawala pikirannya.

Hasrat dan dorongan alamiah untuk mempunyai teman hidup telah banyak menyita konsentrasinya. Terlebih usia yang semakin merambat naik. Daya serap terhadap suatu ilmu pengetahuan tidaklah setajam dulu. Konsentrasi dalam menjalani hidup seolah-olah hilang seiring dengan perginya musim dingin.

Shalat yang dilakukannya sangat jauh dari kata khusu’. Ketika membaca do'a iftitah, "Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan es," yang muncul justru bayangan puteri salju melambai-lambai menarik simpati. Demikianlah semakin lama, bacaan shalat pun semakin hilang dari nilai penghayatan.

Hidup menyendiri memang sangat melelahkan. Jiwa lunglai karena didera oleh perasaannya sendiri. "Kesendirian adalah kumpulan duka nestapa", demikian Khalil Gibran menyindir para lajang.

Wajar, jika syekh Mustafa Siba'i menggambarkan,

ADZAB KUBUR

Tahukah anda?

Setiap kali Khalifah Utsman bin Affan berdiri di pinggir kuburan,mbeliau selalu menangis,mhingga Air matanya membasahi jenggotnya.

Melihat pemandangan ini, sebagian orang bertanya kepada beliau:

Wahai Khalifah Utsman, ketika engkau mengingat surga dan neraka, engkau tidak menangis seperti ini. Namun setiap kali melihat kuburan, engkau menangis tersedu-sedu.

Khalfah Utsman menjawab: Aku melakukan hal ini, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
«الْقَبْرُ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ، فَإِنْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ»
Kuburan adalah tempat pertama yang akan engkau datangi pada perjalanan hidupmu di akhirat.

Bila engkau selamat di alam kuburan maka semua perjalananmu setelahnya lebih mudah. Namun bila engkau celaka di alam kuburan, maka perjalananmu selanjutnya lebih mengerikan." ( Ahmad dan lainnya)

HAJI DA UMRAH TANPA TERGANJAL KUOTA DAN TANPA BIAYA

HAJI DAN UMRAH TANPA BIAYA DAN TAK TERGANJAL KUOTA
Oleh:Ust Abu Ja'far

َﺗَﺎﻣَّﺔٍ ﺗَﺎﻣَّﺔٍ ﺗَﺎﻣَّﺔٍﻛَﺄَﺟْﺮِ ﺣَﺠَّﺔٍ ﻭَﻋُﻤْﺮَﺓٍ ﺗَﻄْﻠُﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻟَﻪُﺣَﺘَّﻰ ﻣَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟْﻐَﺪَﺍﺓَ ﻓِﻲ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔٍ ﺛُﻢَّ ﻗَﻌَﺪَ ﻳَﺬْﻛُﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪ "Barangsiapa yang melaksanakan shalat Subuh dengan berjama’ah kemudian duduk berdzikir mengingat Allah hingga matahari terbit, setelah itu ia shalat dua raka'at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah secara sempurna, sempurna, sempurna.” HR. Tirmidzi.

Saudaraku, Setiap orang yang jujur dengan keimanannya, tulus dalam azamnya, pasti mendamba dapat mengunjungi rumah kekasihnya, Allah swt. Seberapapun jarak yang harus ditempuhnya. Seberapapun biaya yang harus dikeluarkannya. Seberapapun waktu yang harus dihabiskannya.

Bersimpuh di Baitullah (rumah Allah), merupakan cita-cita terbesar umat Islam di belahan bumi manapun. Baik di Timur maupun Baratnya. Terlebih bagi kita yang mendapat keluasan rezki dan memiliki fisik yang prima. Sebab ibadah haji merupakan jalan pintas menuju surga. Haji dan umrah bukan sekadar paket rihlah ruhani biasa. Tapi, ia bergaransi surga dan pelebur kesalahan dan dosa.

Rasulullah saw bersabda, "Antara satu umrah ke umrah berikutnya sebagai penebus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga." (H.R; Bukhari).

Berapa banyak air mata yang tertumpah, karena harapan mengunjungi Ka'bah al Musyarrafah tak kunjung terwujud di alam realita. Mungkin karena biaya yang dibutuhkan belum terkumpul. Atau lantaran kondisi fisik yang sering didera sakit parah. Atau terganjal kuota, di mana kita harus menunggu sepuluh tahun untuk dapat berangkat ke sana jika tahun ini kita baru mendaftarkan diri.

Adakah di antara kita yang tak ingin masuk surga dan terhapus kesalahan dan dosa-dosanya? Tentu tidak ada. Selama ada iman di dada kita walaupun hanya setebal kulit ari. Dan semua kita pun sadar, bahwa tidak mudah masuk ke dalam surga. Karena surga merupakan barang dagangan Allah yang tak murah harganya. Dan tak mudah untuk menggapainya.

Saudaraku, Jika kita termasuk mereka yang bersedih, karena belum mampu mengunjungi baitullah, maka kita tak perlu berlama-lama larut dalam kesedihan. Jangan kita biarkan hati kita gelisah dan khawatir berlebihan menunggu panggilan-Nya yang masih sayup-sayup terdengar di telinga kita.

Selama kita berupaya maksimal mencari jalan menuju ke rumah-Nya. Selama semangat kita mengunjungi baitullah tetap membara dan menggelora. Tak lapuk ditelan masa. Tak sirna termakan usia. Maka jalan menuju ke sana terbentang luas di hadapan kita. Bahkan kita dapat mengunjungi baitullah setiap hari, jika kita mau. Tidak menunggu waktu sampai satu tahun. Dan tak perlu mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah. Tak tersandung kuota. Berbahagialah bagi kita yang mampu memaksimalkan peluang ini.

Saudaraku, Syekh Muhammad Jam'ah al Halbusi, menyebutkan dalam salah satu artikelnya bahwa ada beberapa amalan yang pahalanya sebanding ibadah haji atau umrah. Di antaranya:

Pertama, berniat dengan sungguh-sungguh untuk mengunjungi baitullah. Dengan niatan yang tulus suci akan mengelompokan kita dalam kafilah haji dan umrah walaupun kita tidak berada di tengah-tengah mereka. Karena ada uzur yang membatasi keinginan kita.

Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa sekembalinya Nabi saw dari perang Tabuk dan Madinah sudah berada di depan mata, beliau bersabda kepada para sahabatnya,

“Sesungguhnya di Madinah ada orang-orang, yang kalian tidak menempuh sebuah perjalanan dan tidak melewati sebuah lembah; melainkan mereka bersama-sama kalian, mereka terhalangi udzur berupa sakit” dan dalam riwayat yang lain, “Melainkan mereka berkongsi dengan kalian dalam pahala”, H.R Bukhari.

Karena niat yang ikhlas dan tulus disertai dengan kesungguhan usaha maksimal, sebagian sahabat mendapatkan pahala berjihad di jalan Allah. Walaupun jasad mereka tidak bersama para mujahidin. Namun hati dan semangatnya selalu menyertai mereka. Sakit dan uzur lainnya yang menghalangi mereka tidak berangkat ke Tabuk. Dan bukan karena malas atau takut berjihad seperti yang diperbuat oleh kaum munafikin.

Demikian pula dengan ibadah haji. Selama niat yang menggelora telah menghujam di dada. Do'a kepada yang di atas telah ditengadahkan. Usaha maksimal telah dilakukan. Namun karena ada uzur yang melekat di tubuh kita, baik karena biaya maupun uzur lain seperti sakit dan yang senada dengan itu. Insyaallah, kita tercatat di sisi-Nya sebagai orang yang berhaji di jalan Allah swt.

Kedua; Melaksanakan shalat sunnah dua raka'at di waktu syuruq (terbit matahari), yang di awali dengan shalat Subuh berjama'ah di masjid lalu duduk berzikir kepada Allah.

Rasulullah saw bersabda,

"Barangsiapa shalat Subuh berjama’ah kemudian duduk berdzikir mengingat Allah hingga matahari terbit, setelah itu ia shalat dua raka'at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah secara sempurna, sempurna, sempurna.” HR. Tirmidzi.

Saudaraku, Ada pertanyaan yang menggelayut di benak kita, apakah Nabi saw biasa melakukan shalat syuruq ini? Tentu saja, karena beliau adalah suri tauladan kita di semua lini kehidupan kita.

Imam Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Umar ra berkata, "Adalah Nabi saw selepas shalat Subuh, beliau tidak meninggalkan majlisnya sehingga beliau melakukan shalat. Beliau bersabda, "Siapa yang shalat Subuh (di masjid), lalu ia tetap duduk di majlisnya sehingga ia menunaikan shalat (sunnah), maka amalannya itu sebanding dengan haji dan umrah yang maqbul (diterima)."

Ketiga; Menghadiri majlis ilmu di masjid. Imam Thabrani dan Hakim meriwayatkan dari Abu Umamah dari Nabi saw bersabda, "Siapa yang bergegas pergi ke masjid. Tujuannya tidak lain kecuali untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya kepada orang lain, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan haji secara sempurna."

Namun ironinya, banyak masjid yang megah dan mentereng di sekitar kita, tapi di dalamnya sepi dari majlis ilmu. Seolah-olah masjid dibangun hanya sekadar untuk pelaksanaan shalat lima waktu belaka.

Padahal di zaman Nabi saw, masjid selain sebagai tempat ibadah. Ia juga berperan sebagai madrasah tempat menimba ilmu. Sebagai markas pengkaderan para sahabat. Menyelesaikan persoalan masyarakat dan umat. Membahas strategi perang dan seterusnya.

Keempat, Keluar menuju masjid dalam keadaan suci untuk menunaikan shalat fardhu dan shalat dhuha.

Abu Umamah ra meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa bersuci dari rumahnya, kemudian ia keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat fardhu, maka pahalanya seperti pahala seorang haji dalam keadaan ihram. Dan barangsiapa yang menunaikan shalat dhuha, maka pahalanya seperti pahala orang yang menunaikan ibadah umrah.” (H.R; Abu Daud).

Kelima, melaksanakan umrah di bulan Ramadhan. "Umrah di bulan Ramadhan sebanding haji bersamaku." Demikian sabda Nabi saw dalam riwayat Muttafaq alaih.

Keenam, Berbakti kepada kedua orang tua. Karena Rasulullah saw pernah berwasiat kepada salah seorang sahabat untuk berbakti kepada ibu (karena tinggal ibunya yang masih hidup), lalu beliau bersabda, ”Bertakwalah kepada Allah dengan cara berbakti kepada ibumu. Jika engkau lakukan yang demikian itu, maka engkau seperti orang yang menunaikan haji, umrah, dan orang yang berjihad.” (H.R; Thabrani dan Baihaqi).

Saudaraku, Itulah beberapa amalan yang pahalanya setara dengan pahala orang yang sedang berhaji dan berumrah. Dan ini merupakan bukti kemurahan Islam. Di mana semua umat Islam, bisa meraih pahala haji dan umrah. Yang dapat dikejar oleh siapa saja. Bahkan oleh orang yang tak berharta. Tak memiliki jabatan. Tua renta. Dan siapa saja. Dimanapun dan bagaimanapun keadaannya.

Namun yang perlu kita pahami saudaraku, Bahwa amal-amal ini tidak menggugurkan kewajiban berhaji dan berumrah. Orang-orang yang telah mengerjakan amal-amal ini tetap wajib melaksanakan ibadah haji dan umrah. Tentu bagi mereka yang mampu dan mendapat kelapangan rezki.

Saudaraku, Selanjutnya terserah kita. Apakah kita ingin meraih pahala haji dan umrah yang terbentang di hadapan kita. Atau kita membiarkan diri kita tertinggal jauh dari orang-orang yang Allah beri keluasan harta terhadap mereka. Di mana mereka bisa mengunjungi baitullah kapan mereka mau. Sementara kita hanya mampu meneteskan air mata kesedihan.

Jika kita tak mampu melakukan amal-amal di atas yang pahalanya sebanding haji dan umrah. Memang kita layak untuk menangis. Menangisi kelemahan azam dan kerapuhan semangat ubudiyah kita. Menangisi diri kita yang telah mati. Meskipun nafas masih di kandung badan.

Yah, kita telah mengalami kematian hati dan semangat. Di mana hati kita tak lagi dapat menggerakkan anggota tubuh kita untuk mendaki puncak ubudiyah. Dan membiarkannya terlempar ke jurang kemalasan dan keringkihan ruhani. Wallahu a'lam bishawab.

DERAJAT HADITS "Membaca Surat Yasin Di Hari Jum'at Dikuburan Kedua Orangtua"

   Dari Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa berziarah kubur kedua orang tuanya atau salah satunya pada setiap hari Jumat, kemudian membaca surat Yasin, maka dia akan diampuni sebanyak ayat dan huruf surat itu.” (HR. Ad Dailami)
Ustadz, hadits Ad Dailami termasuk dhaif? (Hafizh Nashir)

Jawaban:
Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d
Bunyi hadits tersebut adalah sebagai berikut:
من زار قبر والديه كل جمعة ، فقرأ عندهما أو عنده ( يس ) غفر له بعدد كل آية أو حرف ”
Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya, lalu dia membaca di sisi keduanya atau salah satunya surat Yasin, maka dia akan diampuni sebanyak ayat atau huruf surat itu.

Hadits ini diriwayatkan oleh:
Imam Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan No. 2026
Imam Abdul Ghani Al Maqdisi dalam As Sunan, 2/91
Imam Ibnu ‘Adil dalam Al Kamil, 5/152

Sanad hadits ini:
     Abu Muhammad bin Hayyan berkata kepadaku Abu Ali bin Ibrahim, berkata kepadaku Abu Mas’ud Yazid bin Khalid, berkata kepadaku ‘Amru bin Ziyad Al Baqal Al Khurasani, berkata kepadaku Yahya bin Sulaiman, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, dari ayahnya, lalu disebut hadits di atas.
Hadits ini palsu dan tidak ada dasarnya menurut umumnya para ulama.
Imam Ibnu ‘Adi Rahimahullah berkata:
وهذا الحديث بهذا الإسناد باطل ليس له أصل
Hadits ini, dengan isnad seperti ini adalah batil, dan tidak ada dasarnya. (Al Kamil fidh Dhuafa, 5/152)
Beliau mengomentari ‘Amru bin Ziyad Al Baqal sebagai berikut:
ولعمرو بن زياد غير هذا من الحديث منها سرقة يسرقها من الثقات ومنها موضوعات وكان هو يتهم بوضعها
Untuk ‘Amru bin Ziyad, selain pada hadits ini, ada hadits lain yang dicurinya dari orang-orang terpercaya dan diantaranya banyak yang palsu, dan dia dituduh memalsukannya. (Ibid)
Sedangkan Imam Ad Daruquthni berkata: “Yadha’ul hadits – dia memalsukan hadits. (Mizanul I’tidal, 3/261)

Imam Adz Dzahabi berkata tentang ‘Amru bin Ziyad: “Wadhaa’ –pemalsu hadits. (Talkhis Kitab Al Maudhu’at, No. 940)
     Oleh karena itu, Imam Ibnul Jauzi memasukan hadits ini sebagai deretan hadits palsu. (Al Maudhu’at, 3/239)
Imam As Suyuthi menguatkan hadits ini, tetapi …
Sementara itu, Imam As Suyuthi nampak membela hadits ini dengan mengatakan: Lahu syaahid – hadits ini memiliki penguat. (Lihat Al La-ali Al Mashnu’ah fil Ahadits Maudhu’ah, 2/365)
Lalu Imam As Suyuthi menyebutkan hadits yang Beliau sebut sebagai syahid (penguat), yakni:
من زار قبر أبويه أو أحدهما كل جمعة غفر له وكتب برا
Barang siapa yang menziarahi kubur kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat, maka dia diampuni dan dicatat baginya telah berbakti kepadanya. (HR. Ath Thabarani, Al Awsath No. 6114, dari Abu Hurairah)
     Tetapi, ternyata hadits ini pun juga cacat dengan cacat yang tidak kalah parahnya, yakni ada tiga orang perawi yang bermasalah:
Abdul Karim Abu Umayyah, oleh Imam As Suyuthi sendiri dikatakan dhaif.
Yahya bin Al ‘Ala Al Bajali, seorang yang majhul (tidak dikenal)
Muhammad bin An Nu’man, juga majhul (Lihat Al La-ali Mashnu’ah, 2/366)
Namun, yang benar adalah Yahya bin Al ‘Ala bukan majhul (tidak dikenal), tetapi dia ma’ruf (dikenal), bahkan sebagian imam menyebutnya sebagai pembohong. Berikut ini rinciannya:
Imam Yahya bin Ma’in berkata tentang Yahya bin Al ‘Ala: Laisa bi syai’ – bukan apa-apa.
Imam Amru bin Ali berkata: Matrukul hadits jiddan – haditsnya sangat ditinggalkan.
Imam Abu Zur’ah berkata: fi haditsihi dha’f – pada haditsnya ada kelemahan.
Imam Abu Hatim berkata: Laisa bil qawwi – bukan orang yang kuat. (Lihat Imam Ibnu Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 9/180)
Imam Ahmad berkata: Kadzdzaab yadha’ul hadits – pembohong dan pemalsu hadits. Bahkan Beliau menyebut Yahya bin Al ‘Ala sebagai rafidhi – syiah.
Imam Amru bin Ali, Imam An Nasa’i, Imam Al Azdi berkata: matrukul hadits – haditsnya ditinggalkan.
Imam Ad Daruquthni mengatakan: dhaif – lemah.
Imam Ibnu ‘Adi mengatakan: dhaif, pada hadits terdapat banyak hadits-hadits palsu.
Imam Ibnu Hibban mengatakan: tidak boleh berhujjah dengannya. (Lihat Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, 1/144, 3/200. Juga Imam Ibnul Mubarrad, Bahrud Dam No. 1162)
Imam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Waki’ mengatakan bahwa Yahya bin Al ‘Ala memalsukan hadits tentang cara menanggalkan sandal sampai dua puluhan hadits.
Imam Al Jauzujaani mengatakan: ghairu muqni’ – tidak memuaskan. Pada kesempatan lain mengatakan: Syaikh waahiyun – seorang syaikh yang lemah.

Yusuf bin Sufyan mengenalinya dan mengingkarinya. As Saaji berkata: munkarul hadits – haditsnya munkar.
Ad Daulabi berkata: matrukul hadits. (Lihat Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 11/229)
Oleh karena itu, apa yang disebut Imam As Suyuthi bahwa Yahya bin Al ‘Ala seorang yang tidak dikenal, telah terkoreksi oleh pernyataan para imam yang sedemikian banyaknya tentang dia.
Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:

Tuesday 23 April 2013

WASPADAI PINTU-PINTU NERAKA


WASPADAI PINTU-PINTU NERAKA

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu surga dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Saudaraku,
Bagi orang yang memiliki iman yang hidup, pasti hatinya diliputi perasaan takut yang tak terbilang dengan kepedihan dan kedahsyatan siksa neraka.

Sufyan Atsaury rahimahullah (ulama terkemuka dari kalangan tabi'in), di kala mengenang pedihnya siksa neraka, menyebabkan ia pernah terkencing darah dan nanah. Ia seorang yang zuhud terhadap dunia. Ketika ia berada di ambang kematian, ia meneteskan air mata menangis tersedu-sedu. Terbata-bata suaranya, dari lisannya terucap, "Aku khawatir di saat yang sangat menentukan masa depanku di akherat seperti ini, Allah saw mencabut keimanan dari hatiku."

Begutu pula Malik Bin Dinar rahimahullah ketika melaksanakan shalat malam tak sanggup membendung air matanya hingga membasahi jenggotnya yang lebat seraya berucap, "Duhai Rabb-ku, Engkau telah tetapkan para penghuni surga dan neraka, maka di manakah tempat tinggalku di akherat kelak?."

Saudaraku,
Nabi saw telah banyak mengajari kita do'a-do'a perlindungan agar kita terhindar dari siksa api neraka. Dan bahkan setiap kita shalat, dan sebelum salam kita berlindung kepada-Nya dari empat perkara; dari siksa neraka Jahannam, azab kubur, fitnah hidup dan mati serta fitnah al masih ad Dajjal." Seperti dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra.

Hati yang hidup akan tersengat dan menjerit jika anggota tubuhnya yang lain terperosok ke dalam lembah dosa dan terlempar ke jurang maksiat. Berbeda dengan orang yang hatinya mati atau sakit, maksiat dan dosa tak akan memberikan dampak apapun kepada dirinya. Tidur tetap nyenyak dan bahkan mendengkur. Seulas senyum tetap renyah untuk ditampilkan. Mengayunkan kakipun terasa ringan tanpa ada beban dan hambatan.

Hasan al Basri rahimahullah pernah berucap, "Tanda orang yang tenggelam dalam lautan dosa adalah hatinya terhalang untuk menggerakkan tubuhnya agar berpuasa di siang hari dan mendirikan shalat di malam hari."

Saudaraku,
Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan dalam kitabnya "Al Fawaid), bahwa manusia masuk ke dalam neraka lewat tiga pintu:

· Pintu syubhat. Ia mewariskan keragu-raguan dalam beragama.

· Pintu syahwat,

Tuesday 16 April 2013

DAKWAH ITU???



Dakwah Itu……………………



Dakwah itu, membina, bukan menghina…

Dakwah itu, mendidik, bukan 'mendelik'…

Dakwah itu, mengobati, bukan melukai

Dakwah itu, mengukuhkan, bukan meruntuhkan…

Dakwah itu, menguatkan, bukan melemahkan…

Dakwah itu, mengajak, bukan mengejek…

Dakwah itu, menyejukkan, bukan memojokkan..

Dakwah itu, mengajar, bukan menghajar....

Dakwah itu, belajar, bukan kurang ajar ..

Dakwah itu, menasehati, bukan mencaci maki…

Dakwah itu, merengkuh, bukan menuduh...

Dakwah itu, bersabar, bukan gusar…

Dakwah itu, argumentative, bukan provokatif..

Dakwah itu, bergerak cepat, bukan sibuk berdebat…

Dakwah itu, realistis, bukan fantastis

Dakwah itu, adu konsep di dunia nyata, bukan adu mulut dan olah kata.

Dakwah itu, mencerdaskan, bukan mencemarkan…

Dakwah itu, menawarkan solusi, bukan mengumbar janji...

Dakwah itu, berlomba dalam kebaikan, bukan berlomba saling menjatuhkan..

Dakwah itu, menghadapi masyarakat, bukan membelakangi masyarakat...

Dakwah itu, memperbarui masyarakat, bukan membuat masyarakat baru..

Dakwah itu, mengatasi keadaan, bukan meratapi kenyataan…

Dakwah itu,

Thursday 11 April 2013

SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN

SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN

Oleh
Ustadz Abdullah Zein, MA

KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT
Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang dijanjikan pahala berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Banyak nash (dalil) dari al-Qur'ân maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak amalan mulia ini. Di antaranya :

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allâh dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya [al-Ahzâb/33: 56]

Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya[1] , "Allâh Azza wa Jalla memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan Rasûlullâh di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allâh Azza wa Jalla memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."

Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh kali [HR. Muslim 1/288-289 no. 384]

Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubârakfûri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari shalawat Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya adalah Allâh merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.

Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena itulah, tidak mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis buku khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya, Fadhlush Shalât 'alâ an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam Ismâ'il bin Ishâq al-Qâdhi (199-282 H), Jalâ'ul Afhâm fî Fadhlish Shalât wa as-Salâm 'alâ Muhammadin Khairil Anâm karya Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H) dan lain-lain.[2]

IKHLAS DAN MENELADANI RASUL SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DALAM BERSHALAWAT
Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur'ân dan Sunnah serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allâh Azza wa Jalla kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas karena Allâh dan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Fakhruddîn ar-Râzy (544-606 H) menyimpulkan dua syarat sah ibadah tersebut dari firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا

Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. [al-Isrâ'/17:19]

Kata beliau rahimahullah, "Syarat pertama, mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. Jika niat ini tidak ada maka dia tidak akan memetik manfaat dari amalannya … Sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. [HR. Bukhari, 1/9 no. 1 – al-Fath]

Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal Allâh serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allâh dan meraih ketaatan pada-Nya.

Syarat kedua, ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya" maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan amalan-amalan yang batil!"[3].

Imam Ibn Katsîr (700-774 H) mempertegas, "Agar amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allâh semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak diterima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak [HR. Muslim 3/1343 no. 1718 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma]

Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allâh; amalannya pun juga akan tertolak."[4]

Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allâh Azza wa Jalla harus pula terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ikhlas dalam bershalawat berarti:
1. Hanya mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan pahala dari-Nya.
2. Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighâtsah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allâh kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk manusia, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, jika teks shalawat itu bersumber dari sosok yang ma'shûm , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ini di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi kesyirikan dan kekufuran.

Meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat, maksdunya:
1. Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau dan tidak melampaui batas sehingga memasuki ranah ghuluw (sikap berlebihan) dan lafaz syirik.
2. Bershalawat untuk beliau pada momen-momen yang beliau syariatkan.[5]
3. Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allâh Azza wa Jalla dalam QS. al-Ahzâb/33:56 dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.

Setelah pemaparan mukadimah yang berisi beberapa kaidah penting, saatnya kita memasuki inti pembahasan.

SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN
Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, shalawat Munjiyât, shalawat Thibbul Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan kita- shalawat Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid Ma'rûf.[6]

Selain itu, mereka juga sangat 'kreatif' dalam membuat aturan-aturan baca berbagai jenis shalawat tersebut, dari sisi jumlah bacaan, waktu pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya. Seakan-akan itu semua ada landasannya dari syariat.

Shalawat Nâriyyah merupakan salah satu shalawat yang paling masyhur di antara shalawat-shalawat bentukan manusia. Orang-orang berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun tidak memahami kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua ini yang lebih dominan. Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya karena diperintah tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur dengan "fadhilah" tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat tersebut, juga kandungan makna yang terkandung di dalamnya.

Sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat ini, yang juga terkadang dinamakan dengan Shalawat Tafrîjiyah Qurthubiyah, ada baiknya dibawakan dahulu teks lengkapnya : [7]

اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامّاً عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ، وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ، وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ، وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujan pun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau

SIAPAKAH PENCIPTA SHALAWAT NARIYAH?
Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang bernama as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko, tarekat as-Sanusiyyah.

BENARKAH PENGARANGNYA ADALAH SHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Di sebuah situs internet tertulis: "Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syeikh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allâh, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allâh memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut Sholawat Nariyah.

Suatu malam, Syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allâh. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti Syekh Nariyah. Namun Nabi mengatakan tidak bisa karena Syekh Nariyah sudah minta terlebih dahulu.

Mengapa sahabat itu ditolak Nabi? Dan justru Syekh Nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allâh sudah menjamin nabi-nabiNya sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat".[9]

Kesimpulan, pengarang Shalawat Nariyah konon seorang bernama Syekh Nariyah, dan dia termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijamin masuk surga oleh beliau.

Sebagai seorang Muslim mestinya tidak begitu saja menerima apa yang disampaikan padanya, tanpa klarifikasi dan penelitian, apalagi jika berkenaan dengan permasalahan agama.

Sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu dicermati dari cerita di atas :
1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nâriyah ?
2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat' tersebut? Dan adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya?

Adapun berkenaan dengan poin pertama, perlu diketahui bahwa biografi para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian ekstra dari para Ulama Islam. Begitu banyak kitab yang mereka tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada referensi yang ditulis untuk memaparkan biografi para shahabat beserta para Ulama sesudah mereka hingga zaman penulis, adapula referensi yang ditulis khusus untuk menceritakan biografi para sahabat saja. Diantara contoh model pertama: Hilyatul Auliyâ' karya al-Hâfizh Abu Nu'aim al-Asfahâni (336-430 H) dan Tahdzîbul Kamâl karya al-Hâfizh Abul Hajjâj al-Mizzi (654-742 H). Adapun contoh model kedua, seperti: al-Istî'âb fî Ma'rifatil Ash-hâb karya al-Hâfizh Ibn 'Abdil Bar (368-463 H) dan al-Ishâbatu fî Tamyîzish Shahâbah karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-'Asqalâni (773-852 H).

Setelah meneliti berbagai kitab di atas dan juga referensi biografi lainnya, yang biasa diistilahkan para Ulama dengan kutubut tarâjim wa ath-thabaqât, ternyata tidak dijumpai seorang pun di antara Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Nâriyah. Bahkan sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun Ulama klasik yang memiliki nama tersebut. Lalu, dari manakah orang tersebut berasal??

Sebenarnya, orang yang sedikit terbiasa membaca kitab Ulama, hanya dengan melihat nama tersebut beserta 'gelar' syaikh di depannya, akan langsung ragu bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi. Karena penyematan 'gelar' syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami- bukanlah kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka pakai, sehingga terasa begitu janggal di telinga.

Kesimpulannya: berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nariyah. Jadi penisbatan shalawat tersebut terhadap Sahabat sangat perlu untuk dipertanyakan dan amat diragukan keabsahannya.

Adapun poin kedua, amat disayangkan penulis makalah di internet tersebut tidak menyebutkan sanad (mata rantai periwayatan) kisah yang ia bawakan, atau minimal mengisyaratkan rujukannya dalam menukil kisah tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu dari dua hal di atas niscaya kita akan berusaha melacak keabsahan kisah tersebut, dengan meneliti para perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya. Atau barangkali kisah di atas merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ? Jika, ya, maka kisah tersebut tidak ada nilainya; karena kisah fiksi, alias kisah yang tidak pernah terjadi !

Amat disayangkan, dalam hal yang berkaitan dengan agama, tidak sedikit kaum Muslimin sering menelan mentah-mentah suatu kisah yang ia temukan di sembarang buku dan internet, atau kisah yang diceritakan oleh tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa perlu untuk mengcrosscek keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar terjadi! Padahal kenyataannya seringkali tidak demikian.

Untuk memfilter kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu: Islam memiliki sanad (mata rantai periwayatan). Demikian keterangan yang disampaikan Ibn Hazm (384-456 H)[10] dalam al-Fishâl dan Ibnu Taimiyyah (661-728 H).[11]

Imam 'Abdullâh bin al-Mubârak (118-181 H) pernah berkata, "Isnâd adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnâd, seseorang akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya."[12]

KANDUNGAN MAKNA SHALAWAT NARIYAH
"Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua hajat yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau."

Bagian dari Shalawat Nâriyyah yang kami cetak tebal itulah yang akan dicermati dalam tulisan singkat ini. Kalimat-kalimat tersebut mengandung penisbatan terpecahkannya semua kesulitan, dilenyapkannya segala kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat, tercapainya segala keinginan dan husnul khatimah, kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Dalam hal ini yang mereka maksudkan yang melakukan itu semua adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Penisbatan ini merupakan sebuah kekeliruan fatal, sebab bertolak-belakang dengan al-Qur'ân dan Sunnah, serta bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya, semua perbuatan tersebut, hanya Allâh Azza wa Jalla yang berkuasa melakukannya.

Mari kita cermati nash-nash berikut :

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang melenyapkan kesusahan serta yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan selain Allâh ? Amat sedikit kalian mengingat-Nya ! [an-Naml/27:62]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingatkan bahwa hanya Dia-lah yang diseru saat terjadi kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan pertolongan-Nya saat musibah melanda. Demikian keterangan yang disampaikan Imam Ibnu Katsir. [13]

Karena itulah, setelahnya Allâh Azza wa Jalla melontarkan pertanyaan dalam konteks pengingkaran, "Adakah tuhan selain Allâh ?". Hal ini mengisyaratkan, wallahu a'lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan kesusahan lalu memohon pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seakan ia telah menjadikan dzat yang diserunya itu sebagai tuhan 'saingan' Allâh Azza wa Jalla . Sebab tidak ada yang sanggup mengabulkan permohonan tersebut melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla .

Senada dengan ayat di atas, firman Allâh Azza wa Jalla berikut :

قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ ﴿٦٣﴾ قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنْتُمْ تُشْرِكُونَ

Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara yang lembut (dengan mengatakan), 'Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami akan menjadi orang-orang yang bersyukur'. Katakan, "Allâhlah yang menyelamatkan kalian dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas mengapa kalian kembali mempersekutukan-Nya?!". [al-An'âm/6: 63-64]

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Apapun nikmat yang ada dalam diri kalian, maka dari Allâh-lah (datangnya). Dan bila kalian ditimpa marabahaya, maka hanya kepada-Nya-lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan [an-Nahl/16:53]

Dan masih banyak lagi firman Allâh yang semakna dengan ayat-ayat di atas, yang menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan di dunia maupun akhirat, hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang mendatangkannya. Sebagaimana pula segala bentuk keburukan di dunia ataupun akhirat, hanyalah Allâh Azza wa Jalla yang menghindarkannya dari diri kita.

Karena itulah, kita dapatkan qudwah kita, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan untuk selalu kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dalam segala urusan.

Mari kita cermati sebagian dari doa yang beliau baca :

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ

Ya Allâh, jadikanlah akhir dari seluruh urusan kami baik, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksaan akhirat [HR. Ibnu Hibbân 3/230 no. 949]

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

Wahai Yang Maha hidup dan Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu-lah aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata [HR. al-Hâkim 1/739 no. 2051]

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Ya Allâh, rahmat-Mu-lah yang kuharapkan. Maka janganlah Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Engkau. [HR. Abu Dâwud, 5/204 no. 5090 dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu , dan dinilai sahîh oleh Ibn Hibbân (III/250 no. 970].

Lihatlah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan seluruh urusan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan memberi kita teladan agar senantiasa mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allâh Azza wa Jalla !. Pernahkah beliau -walaupun hanya sekali- mengajarkan kepada umatnya agar bergantung kepada beliau?! Mustahil beliau mengarahkan demikian, sebab beliau sendirilah yang berkata, "Janganlah Engkau (Ya Allâh) jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata". Beliau mencontohkan praktek tawakkal yang begitu tinggi, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin bergantung pada diri sendiri, walaupun itu hanya sesaat, sekedipan mata! Mengapa kita tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang lainnya?

Cermati pula doa terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup doanya dengan kalimat thayyibah LA ILÂHA ILLALLÂH, yang menunjukkan -wallahua'lam- bahwa seluruh permintaan di atas adalah bentuk ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allâh Azza wa Jalla .

MEMBACA SHALAWAT NARIYAH BERARTI MENGAGUNGKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk melegalkan pembacaan shalawat Nâriyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan dalih pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat Nâriyah tidak mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Ini merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.

Masalah pokok yang perlu diketahui pertama kali yaitu mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam hukumnya wajib. Dan ini merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang keimanan ini berbeda dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14] , bahkan pengagungan lebih tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap yang mencintai sesuatu ia pasti mengagungkannya. Contohnya, orang tua mencintai anaknya, namun kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk memuliakannya dan tidak mengantarkan untuk mengagungkannya. Beda dengan kecintaan anak kepada orang tuanya, yang akan mengantarkan untuk memuliakan dan mengagungkan mereka berdua.[15]

Di antara hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus ditunaikan oleh umatnya adalah pemuliaan, pengagungan dan penghormatan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pengagungan, pemuliaan dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan dan penghormatan seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap majikannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an); mereka itulah orang-orang yang beruntung. [al-A'râf/7:157]

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama, bahwa yang dimaksud dengan "pemuliaan" dalam ayat di atas adalah pengagungan.[16]

PENGAGUNGAN TERHADAP RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM BERTEMPAT DI HATI, LISAN DAN ANGGOTA TUBUH [17]
Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allâh. Keyakinan ini menyebabkan seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasulullah n dariapda kecintaannya terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.

Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa betapa agung dan wibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta meresapi kemuliaannya, kedudukannya dan derajatnya yang tinggi.

Hati merupakan raja dari tubuh, manakala pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam kuat dalam hati, niscaya dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan akan senantiasa basah dengan pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan tunduk menjalankan segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , taat kepada syariat dan ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menunaikan segala haknya.

Adapun pengagungan terhadap beliau dengan lisan, maksudnya adalah memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang berhak untuk dimilikinya, yaitu pujian yang Allâh dan Rasul-Nya n lantunkan untuk beliau, tanpa mengandung unsur berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara pujian yang paling agung adalah membaca shalawat untuk beliau.[18]

Kata al-Halîmy (338-403 H), shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti pengagungan terhadap beliau di dunia, dengan mengangkat namanya, menampakkan agamanya dan mengabadikan syariatnya. Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah permohonan agar limpahan pahala mengalir padanya, syafaat beliau tercurah untuk umatnya dan kemuliaan beliau dengan al-maqâm al-mahmûd terlihat jelas[19].

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan yaitu beradab saat menyebut beliau dengan lisan kita. Caranya adalah dengan menggandengkan nama beliau dengan sebutan Nabi atau Rasûlullâh, lalu diakhiri dengan shalawat kepada beliau. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

Janganlah engkau jadikan panggilan Rasûlullâh di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain. [an-Nûr/24:63]

Karena itulah para sahabat selalu memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan, "Wahai Rasûlullâh!" atau "Wahai Nabiyullâh!".

Juga hendaknya penyebutan nama beliau ditutup dengan shalawat; "shallallahu'alaihi wa sallam" bukan hanya dengan singkatan SAW atau yang semisal. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

Orang yang pelit adalah orang yang tatkala namaku disebut di hadapannya, ia tidak bershalawat padaku. [HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi rahimahullah menyatakan hadits ini "Hasan sahih gharib"].

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan pula yaitu menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keistimewaan dan mukjizatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenalkan sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakat, mengingatkan mereka terhadap kedudukan serta hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajarkan pada mereka akhlak dan sifat mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Menceritakan sejarah hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menjadikannya sebagai pujian, baik dengan bait-bait syair maupun bukan, namun dengan syarat tidak melampaui batas ketentuan syariat, semisal pengagungan yang berlebihan dan yang semisal.

Sedangkan pengagungan dengan anggota tubuh, berarti mengamalkan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani sunnahnya, mengikuti perintahnya secara lahir maupun batin dan berpegang kuat dengannya. Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela sunnahnya, melawan mereka yang menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian di atasnya.

Menjauhi segala yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak menyelisihi perintahnya dan bertaubat serta beristighfar manakala terjerumus ke dalam penyimpangan.

"Taat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekwensi keimanan kepada beliau dan keyakinan akan kebenaran yang dibawanya dari Allâh. Sebab beliau tidaklah memerintahkan atau melarang dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allâh. Sebagaimana dalam firman-Nya :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allâh. [an-Nisâ'/4:64]

Dan makna ketaatan kepada Rasûlullâh adalah menjalankan perintah-perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya."[20]

Kesimpulannya adalah pengagungan yang hakiki terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersimpulkan dalam empat kalimat yaitu mempercayai berita yang bersumber dari beliau, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah dengan tata cara yang disyariatkannya.[21]

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MELARANG KITA UNTUK BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKANNYA
Secara garis besar, Allâh Azza wa Jalla telah melarang kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan maupun amalan. Sebagaimana dalam Qur’an surat an-Nisâ'/4:171.

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang secara khusus dari sikap berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam sabdanya,

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, "(Muhammad adalah) hamba Allâh dan Rasul-Nya" [HR. Bukhâri (6/478 no. 3445 –al-Fath) dari Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu]

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari para sahabatnya yang berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena khawatir mereka akan melampaui batas, sehingga terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi menjaga kemurnian tauhid, agar tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid'ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berhati-hati dalam mengantisipasi hal tersebut, bahkan sampaipun dari hal-hal yang barangkali tidak dikategorikan syirik atau bid'ah.

Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bercerita,

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: "يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا، وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا، وَابْنَ خَيْرِنَا!" فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ، وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُاللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ".

(Suatu hari) ada seseorang yang berkata, "Wahai Muhammad, wahai sayyiduna (pemimpin kami), putra sayyidina, wahai orang yang terbaik di antara kami, putra orang terbaik di antara kami!". Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, "Wahai para manusia, bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku adalah Muhammad bin Abdullah; hamba Allâh dan Rasul-Nya. Demi Allâh, aku tidak suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allâh tentukan untukku". [HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai sahih oleh adh-Dhiyâ' al-Maqdisy (5/25 no. 1627) dan Ibn Hibbân (14/133 no. 6240].

Dengan keterangan di atas, insyaAllâh telah terlihat jelas, mana bentuk pengagungan yang terpuji dan mana bentuk pengagungan yang tercela.

Penulis tutup makalah ini dengan nasehat yang disampaikan Ibn Hajar al-Haitamy (909-974 H), manakala beliau menjelaskan bahwa pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dengan sesuatu yang ada dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas tersebut.

Beliau berkata, "Wajib bagi setiap orang untuk tidak mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan sesuatu yang Allâh izinkan bagi umatnya, yaitu sesuatu yang layak untuk jenis manusia. Sesungguhnya melampaui batas tersebut akan menjerumuskan kepada kekafiran, na'udzubillahi min dzalik. Bahkan melampaui batas sesuatu yang telah disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan penyimpangan. Maka hendaknya kita mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada dalilnya."[22]

Beliau rahimahullah menambahkan, "Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi:

Pertama, kewajiban untuk mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengangkat derajatnya di atas seluruh makhluk.

Kedua, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meyakini bahwa Allâh Maha Esa dalam dzat dan perbuatan-Nya atas seluruh makhluk-Nya. Barang siapa meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai Allâh dalam hal tersebut; maka ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa merendahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang seharus)nya maka ia telah berbuat maksiat atau kafir.

Namun barang siapa yang mengagungkan beliau dengan berbagai jenis pengagungan dan tidak sampai menyamai sesuatu yang merupakan kekhususan Allâh, maka ia telah menggapai kebenaran, dan berhasil menjaga dimensi ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak mengandung unsur ekstrim atau sebaliknya".[23] Wallahu a'lam

Makkah al-Mukarramah, 25 Sya'ban 1431 H / 6 Agustus 2010

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir al-Qur'ânil 'Azhîm, 6/457).
[2]. Judul buku-buku lainnya bisa dilihat, antara lain, di mukadimah Syaikh Masyhûr bin Hasan Salmân hafzhahullah dalam tahqîq Jalâ'ul Afhâm hlm. 8-29.
[3]. Tafsîr ar-Râzy (20/180). Setelah menyebutkan dua syarat di atas, ar-Râzy rahimahullah menyebutkan syarat ketiga, yaitu iman. Sebab iman merupakan syarat utama agar amalan membuahkan pahala. Selain Mukmin tidak akan diterima amalannya, baik dia ikhlas maupun tidak, entah sesuai syariat maupun tidak. Karena ia belum mau memeluk agama, yang segala amalan tidak akan diterima melainkan dari pemeluk agama tersebut. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya, "Barangsiapa mencari agama selain Islam; maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". (Ali Imrân/3:85). Karena begitu gamblangnya permasalahan ini, banyak di antara para ulama yang tidak menyebutkan syarat iman ini, sebab hal itu sudah sangat jelas dan tidak samar.
[4]. Tafsîr Ibn Katsîr (1/385).
[5]. Dalam kitabnya Jalâ'ul Afhâm (hlm. 380-520), Ibnul Qayyim t menyebutkan ada empat puluh satu momen disyariatkannya membaca shalawat kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[6]. Lihat: Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah fî Akhlâq Thullâb Ma'had at-Tahdîb Ngoro Jombang 'Âm: 2004, skripsi Institut Studi Islam Darussalam Gontor, yang disusun oleh Ahmad Luthfi Ridha (hlm. a).
[7]. Tuntunan Ziarah Wali Songo karya Abdul Muhaimin (hlm. 144).
[8]. Rahasia Keutamaan dan Keistimewaan Sholawat karya Nur Muhammad Khadafi, dinukil dari Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah hlm. 21
[9]. www.indospritual.com.
[10]. Lihat, al-Fishâl fî al-Milal wa al-Ahwâ' wa an-Nihal (2/221).
[11]. Lihat, Majmû' al-Fatâwâ (1/9).
[12]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah Shahihnya (1/15).
[13]. Lihat Tafsîr Ibn Katsîr (6/203)
[14]. Lihat, al-Minhâj fî Syu'ab al-Îmân karya al-Halîmy (II/124) dan al-Jâmi' li Syu'ab al-Îmân karya al-Baihaqy (III/95).
[15]. Lihat, al-Minhâj fî Syu'ab al-Îmân (II/124).
[16]. Lihat, Ibid (II/125).
[17]. Diringkas dari Huqûqun Nabi shallallahu'alaihiwasallam 'alâ Ummatih fî Dhau'i al-Kitâb wa as-Sunnah, karya Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimy (II/466-478).
[18]. Di awal tulisan ini, kami telah bawakan beberapa dalil dari al-Qur'an dan Sunnah tentang disyariatkannya membaca shalawat.
[19]. Lihat, al-Minhâj fî Syu'ab al-Îmân (2/134).
[20]. An-Nûr al-Mubîn fî Mahabbah Sayyid al-Mursalîn karya KH. Muhammad Hasyim Asy'ari (hlm. 5-6).
[21]. Lihat: Ar-Radd 'alâ al-Akhnâ'iy karya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (hlm. 18) dan al-Ushûl ats-Tsalâtsah wa Adillatuhâ karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hlm. 23).
[22]. Al-Jauhar al-Munazham fî Ziarah Qabr an-Nabi shallallahu'alaihiwasallam wa Karram (hlm. 64) dinukil dari Ârâ' Ibn Hajar al-Haitamy al-I'tiqâdiyyah 'Ardh wa Taqwîm fî Dhau'I 'Aqîdah as-Salaf karya Muhammad bin Abdul Aziz asy-Syayi' (hlm. 450).
[23]. Al-Jauhar al-Munazham (hlm. 13) dinukil dari Ârâ' Ibn Hajar al-Haitamy al-I'tiqâdiyyah.

Tuesday 9 April 2013

AKU TAK SEPERTI YANG ENGKAU SANGKA

AKU TAK SEPERTI YANG ENGKAU SANGKA

مَا أَنَا بِخَيْرِ النَّاسِ وَلاَ ابْنِ خَيْرِ النَّاسِ, وَلَكِنِّيْ عَبْدٌ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ. أَرْجُو اللَّهَ تَعَالَى وَأَخَافُهُ. وَاللَّهِ, لَنْ تَزَالُوا بِالرَّجُلِ حَتَّى تُهْلِكُوْهُ.

"Aku bukanlah orang terbaik dari manusia dan bukan pula putera manusia terbaik. Tetapi aku hanyalah hamba Allah swt, yang mengharap kucuran rahmat-Nya dan takut kepada azab-Nya. Demi Allah, tidaklah kalian terus menerus menyanjung seseorang sehingga kalian membinasakannya." (Ucapan Abdullah bin Umar terhadap orang yang melayangkan pujian terhadapnya).

Saudaraku,
Jika kita memiliki prestasi gemilang di hadapan manusia atau kelebihan dan keunggulan lain di mata mereka. Baik itu di bidang ubudiyah, ilmu pengetahuan, kelebihan fisik, ketajaman akal pikiran, kemudahan dalam usaha dan bisnis, kecemerlangan dalam meniti karir, kelancaran dalam komunikasi dan yang seirama dengan itu.

Monday 8 April 2013

AKU DAN SENJA,MENGINGAT MATI

Tak bosan aku mengulang-ulang pepatah Arab ini:
"Betapa banyak pemuda-pemudi tertawa dari pagi hingga sore hari,padahal kain kafannya sedang ditenun untuknya tanpa ia sadari."
Pengingat atas kelalaian yang membinasakan
Demi Allah..penyesalan itu ada dibelakang,jika demikian adanya kita akan tersadar setelah benar2 ada di dalam kubur atau api neraka ada di depan mata kita.Kalau sudah seperti ini apa yang akan kita perbuat?sudah terlambat.
Pengingat bekal apakah yang telah kita persiapkan untuk bekal safar (perjalanan) panjang ini.?

WALANA A'MALUNA WA LAKUM A'MAALAKUM
bahwa kita mati akan membawa amal kita sendiri
amal kita tidak akan di kerjakan oleh orang lain
dan dosa kita tidak akan dipikul oleh orang lain.

Aku dan senja,
Al-Khobar 27 Jumadil Ula 1434/8 April 2013
Ahmad Nur Ihsan

Saturday 6 April 2013

Siapakah Yang Bisa Menghindar Dari Orang Lain?Meski Dia Bersembunyi Di Ujung Dunia

     Diceritakan bahwa Juha menunggangi seekor keledai.Anakanya berjalan kaki di sampingnya.Mereka berdua melintas di depan sekelompok orang.Orang-orang itu berkata,"Lihatlah ayahnya yang biadab ini.Dia menunggangi keledai dengan santai dan membiarkan putranya berjalan di bawah terik matahari."

     Omongan itu terdengar oleh Juha.Dia langsung menghentikan langkah keledainya dan turun lalu menaikkan putranya ke atas keledai.

     Keduanya melanjutkan perjalanan lagi.Juha merasa bangga dengan keadaan ini.Mereka lalu lewat di depan kelompok lain.Salah seorang dari mereka berkata,"Lihatlah anak duhaka itu.Dia enak-enakan menunggangi keledai,sementara ayahnya dibiarkan berjalan di bawah terik matahari."

     Omongan itu didengar Juha.Dia kembalai menghentikan keledainya dan ikut naik  bersama putranya agar terhindar dari omongan dan kritikan orang.

Setelah itu,keduanya melewati kelompok lain.Mereka berkata,"Lihatlah kedua orang yang tak punya belas kasihan itu.Mereka tidak mengasihani binatang sama sekali.

     Demi mendengar komentar mereka itu,Juha pun langsung turun dan berkata,"Turunlah Nak!"Anak itu turun dan berjalan di samping ayahnya,dan tidak ada yang menunggangi keledai itu.

     Keduanya terus berjalan dan melintasi kelompok lain,mereka yang melihatnya berkomentar,"Lihatlah dua orang dungu ini.Keduanya berjalan kaki dan keledai merek tidak  ada yang menunggangi.Padahal keledai itu diciptakan untuk ditunggangi".

     Juha pun memekik kesal sambil menarik anaknya.Keduanya lalu masuk ke bawah keledai itu dan mengangkatnya."

Kesimpulan,jangan hiraukan omongan orang.Sebab membuat semua orang senang adalah cita-cita yang tidak mungkin tercapai."

Al-Khobar,26 Jumadil Awal 1434/7 April 2013
Sumber:"Istimta'Bihayatuk/Enjoy Your Life.Syeikh DR Muhammad Al-Arifi"

    

Thursday 4 April 2013

SAYYIDUL ISTIGHFAR




سيد الأستغفار :
عن النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قالَ : « سيِّدُ الاسْتِغْفار أَنْ يقُول الْعبْدُ : اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي ، لا إِلَه إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَني وأَنَا عَبْدُكَ ، وأَنَا على عهْدِكَ ووعْدِكَ ما اسْتَطَعْتُ ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ ما صنَعْتُ ، أَبوءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ علَيَ ، وأَبُوءُ بذَنْبي فَاغْفِرْ لي ، فَإِنَّهُ لا يغْفِرُ الذُّنُوبِ إِلاَّ أَنْتَ .
منْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِناً بِهَا ، فَمـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو مِنْ أَهْلِ الجنَّةِ ، ومَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وهُو مُوقِنٌ بها فَمَاتَ قَبل أَنْ يُصْبِح ، فهُو مِنْ أَهْلِ الجنَّةِ »
رواه البخاري

PERPADUAN RASA TAKUT (KHAUF) DAN HARAP (RAJA')



Saudaraku… Orang-orang shalih di zaman dulu (salafus shalih), merasa terusik kedamaiannya jika amal-amal shalihnya yang rahasia diketahui oleh orang lain. Tidak sedikit dari mereka yang tak sadarkan diri atau pingsan saat ibadahnya diketahui oleh orang lain.

Berbeda dengan orang-orang shalih di zaman kini. Apalagi kita yang mungkin keshalihan kita masih seujung kuku. Terkadang kita malah bangga jika ukiran kebaikan dan amal-amal keta'atan kita dilihat dan diperbincangkan di hadapan orang lain.

Lebih gembira lagi jika kegiatan ruhani kita diliput oleh media atau terpampang di jejaring sosial; FB, Twitter dan yang senada dengan itu. Artinya semakin banyak orang yang mengenal keshalihan kita, maka perasaan berbunga-bunga semakin mekar berkembang.

Saudaraku.. Pada saat Abdullah bin Idris Al Udi menerima sepucuk surat dari khalifah Harun Ar Rasyid, yang berisi ketakjuban sang khalifah akan ibadah rahasia-nya, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri. Saat sadar ia berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, ia (khalifah) telah mengetahui siapa diri ini sehingga ia menulis sepucuk surat untukku. Dosa apa yang aku lakukan sehingga hal ini bisa terjadi?."

Ketika ia berada di ambang sakaratul maut, putrinya menangis tersedu-sedu karena akan ditinggal oleh seorang ayah yang shalih, ahli ibadah. Ibnu Idris berkata kepada putrinya, "Jangan menangis duhai putriku. Sungguh aku telah mengkhatamkan al Qur'an di rumah ini sebanyak empat ribu khataman." (100 kisah min qashash as shalihin, Muhammad bin Hamd).

OLEH:Ust Abu Ja'far
Riyadh,Saudi Arabia

Wednesday 3 April 2013

BAHAGIA ITU SEPERTI APA?

Bahagia itu seperti apa?
5 indikator bahagia,
Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata, "Indikator kebahagiaan seseorang ada 5 perkara:

· An takuna zaujatuhu muwafiqah (memiliki pendamping hidup yang taat).

· Auladuhu abraran (mempunyai anak-anak yang berbakti).

· Ikhwanuhu atqiya' (dikelilingi sahabat-sahabat yang bertakwa).

· Jiranuhu shalihin (hidup di tengah tetangga-tetangga yang shalih).

· Wa rizquhu fii baladihi (memiliki sumber penghasilan tetap di negeri sendiri). (mawa'izh as shahabah, Shalih Ahmad Al Syami).

Friday 4 January 2013

MULIANYA MEMAAFKAN

MULIANYA MEMAAFKAN

Saudaraku..
Siapa di antara kita yang tak pernah mengukir kesalahan dalam hidup. Siapa dari kita yang tak luput dari kekhilafan? Siapa di antara kita yang tak pernah terjerumus ke dalam dosa dan maksiat. Baik itu yang terkait dengan kekhilafan, kesalahan dan dosa kita kepada yang di Atas ataupun dosa dan kekhilafan yang kita perbuat terhadap sesama makhluk yang singgah di atas bumi-Nya beberapa saat sebelum ajal menjemput kita.

Selain para nabi dan rasul yang ma'shum, tentu jawabannya tidak ada. Siapapun kita. Pejabat ataupun rakyat. Pemimpin maupun anggota masyarakat. Ustadz maupun santri. Guru maupun murid. Majikan, sopir maupun pembantunya. Manager perusahaan maupun karyawannya. Suami, istri maupun anak-anak. Pengasuh pesantren maupun santri-santarinya. Dan seterusnya. Selama kita berlabel 'manusia', maka kita tak akan luput dari salah dan khilaf. Yang disengaja maupun tidak. Yang besar maupun yang kecil. Karena manusia disebut dengan nama manusia karena 'nisyanuhu' lantaran kealpaannya.

Namun hal itu bukan menjadi tameng dan alasan bagi kita untuk selalu melakukan kekhilafan dan membiarkan dosa terus kita lakukan berulang kali. Tanpa ada koreksi diri dan muhasabah. Tanpa ada kata istighfar dan mengakui kekurangan dan kelemahan diri.

Saudaraku..
Jika kita memiliki iman walaupun seberat biji sawi dalam kalbu kita. Mempunyai pelita di dalam jiwa sepudar apapun. Maka jiwa kita akan tersengat saat dosa dan kesalahan kembali diperbuat oleh anggota tubuh kita. Hati akan merintih akibat kekhilafan yang kembali terukir dalam hidup.

Dosa dan maksiat adalah belenggu. Artinya kita seakan-akan terpenjara karenanya. Jiwa kita terkekang dan hati seperti menanggung beban yang sangat berat.

Dosa dan maksiat adalah kegelapan. Yang akan menghitamkan hari-hari kita dan menggelapkan langkah kaki kita menuju keridhaan Allah swt. Ia menciptakan awan mendung di langit hati kita.

Dosa dan maksiat adalah perampok. Yang akan mengambil dengan paksa pundi-pundi amal shalih yang telah kita himpun dan kumpulkan dengan susah payah.

Saudaraku..
Dosa dan kesalahan yang kita perbuat untuk yang di Atas, karena kekurangan kita dalam mentaati rambu-rambu-Nya. Atau karena pelanggaran yang kita lakukan terhadap apa yang dilarang dan diharamkan-Nya. Mungkin cukup kita melantunkan kata istighfar dan bertaubat kepada-Nya.

Tapi kesalahan dan dosa terhadap sesama. Karena merampas hak-haknya. Atau menodai kehormatan dan kemuliaannya. Melukai hati dan menggores luka di dadanya. Menipu dan melakukan kebohongan terhadapnya. Mengusik ketenangan dan mengganggu kedamaiannya. Bermasalah dalam berinteraksi harta dengannya. Dan yang senada dengan itu.

Untuk dosa dan kesalahan model kedua ini, tidak cukup hanya dengan beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. Tapi juga, meminta maaf dan meraih keridhaan orang yang telah kita lukai dan gelapkan hari-harinya.

Saudaraku..
Adakah satu kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan kita saat mendapatkan kemaafan dan ampunan dari orang yang pernah kita berbuat dosa dan kesalahan terhadapnya? Orang yang pernah kita lukai perasaan dan hatinya? Mungkin tidak ada. Dan tak akan ada. Sebab ini terkait pula dengan masa depan kita di sana di akherat sana.

Arak-arakan awan terasa sirna dari langit hati kita. Beban yang sangat berat yang berada di pundak kita seperti terangkat dan tubuh pun teramat ringan untuk melangkah, melanjutkan perjalanan.

Kita tak mampu menahan air mata menetes, pertanda kebahagiaan menggenangi ruang hati kita. Membuka kejernihan alam berpikir kita. Hari-hari kita seolah berpelangi. Cerah berseri seperti sapaan mentari pagi.

Saudaraku..
Oleh karena itu, memaafkan kesalahan dan kekhilafan orang lain merupakan akhlak yang sangat terpuji. Ia memantulkan keistimewaan yang tiada tara.

· Memaafkan kesalahan orang lain merupakan tanda ketakwaan seseorang. Artinya semakin sering kita merealisasikannya dalam kehidupan kita, maka simat ketakwaan kita semakin tampak. Terlebih alasan kita memaafkan orang lain, bukan karena kita lemah tak berdaya. Tak mampu balas dendam. Tapi karena kelapangan dan ketulusan hati kita. Allah menyebut perihal sifat sosok muttaqin dalam firman-Nya, "..dan orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain." Ali Imran: 134.

· Memaafkan kesalahan orang lain merupakan akhlak para nabi dan rasul. Artinya kita akan semakin dekat dengan akhlak mereka, jika kita mampu mengikuti kebiasaan mereka. Ketika terjadi penaklukan kota Mekkah, di mana kaum muslimin telah membebaskan kota itu dari kepercayaan nenek moyang; penyembah berhala. Tiada balas dendam yang diperbuat nabi terhadap masyarakat Quraisy yang dulu pernah mengusirnya. Menzaliminya dan seterusnya. Tapi nabi saw membebaskan mereka. Allah berfirman, "Dan sungguh kamu berbudi pekerti yang agung." Al Qalam: 4.

· Memaafkan kesalahan orang, merupakan salah satu kunci masuk surga. Jika kita ingin masuk surga, milikilah kunci ini.

· Memaafkan kesalahan orang lain, akan membuahkan cinta Allah dan para makhluk-Nya di bumi.

· Memaafkan kesalahan orang lain, akan mengalirkan do'a-do'a tulus dari manusia. Dan seterusnya.

Saudaraku..
Ku ucapkan jazakumullah khairan "semoga Allah membalas kebaikanmu dengan balasan terbaik" yang telah memaafkan kekhilafan diri ini. Kebaikan dan keindahan akhlakmu tak akan terlupakan dalam hidup.


Siapapun anda dan di manapun anda berada. Riyadh dan Arab Saudi. Maupun saudara-saudaraku di Dumay ini. Dengan ketulusan jiwa dan dari dasar hati yang paling dalam, kami mohon maaf atas segala salah dan khilaf. Yang disengaja maupun tidak. Yang besar maupu n kecil.

Semoga dengan kemaafanmu, langkah perjalanan kami ke tanah air menjadi ringan. Terarah dan pasti. Penuh rasa optimis dan dapat tersenyum menatap hari-hari yang akan dilalui. Di bawah naungan cinta dan ridha-Nya. Amien.

Jazakaumullah khairan, kalian adalah saudara dan sahabat-sahabatku yang terbaik. Waallahu a'lam bishawab.

Riyadh, 11 Desember 2012.