Wednesday 25 April 2012

Kunci-Kunci Rizki


         Diantara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah itsighfar (memohon ampun) dan taubat kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi (kesalahan). Untuk itu, pembahasan mengenai pasal ini kami bagi menjadi dua pembahasan.

Pertama : Hakikat Istighfar dan Taubat
Kedua : Dalil Syar'i Bahwa Istighfar Dan Taubat Termasuk Kunci Rizki.


Pertama : Hakikat Istighfar dan Taubat

Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan.

"Artinya : Aku mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya".

Tetapi kalimat-kalimat diatas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.

Para ulama -semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada mereka- telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.

Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan : "Dalam istilah syara', taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna" [Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari asal kata " tauba" hal. 76]

Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan :

Thursday 12 April 2012

Pendapat Ulama Tentang Qunut Shubuh



Dari Abi Mijlaz, ia berkata: “Aku pernah shalat Shubuh bersama Ibnu ‘Umar, tetapi ia tidak qunut.” Lalu aku ber-tanya kepadanya: ‘Aku tidak lihat engkau qunut Shubuh?’ Ia jawab: ‘Aku tidak dapati seorang Shahabat pun yang melakukan hal itu.’”

Atsar ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitab Sunanul Kubra (II/213) dengan sanad yang hasan, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikh Syuaib al-Arnauth dalam tahqiq beliau atas kitab Zaadul Ma’ad (I/272).

Ibnu ‘Umar seorang Shahabat yang zuhud dan wara’ yang selalu menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , beliau (Ibnu ‘Umar) mengatakan: “Tidak satu Shahabat yang melakukan qunut Shubuh terus-menerus. Para Shahabat yang sudah jelas mendapat pujian dari Allah tidak melakukan qunut Shubuh,…”

Namun mengapa ummat Islam yang datang sesudah para Shahabat malah berani melakukan ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?

Seorang Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bernama Thariq bin Asyyam bin Mas’ud al-Asyja’i ayahanda Abu Malik Sa’d al-Asyja’i dengan tegas dan tandas mengatakan: “Qunut Shubuh adalah bid’ah!”

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS MENERUS
[1]. Imam Ibnul Mubarak berpendapat tidak ada qunut di shalat Shubuh.

[2]. Imam Abu Hanifah berkata: “Qunut Shubuh (terus-menerus itu) dilarang.” [Lihat Subulus Salam (I/378).]

[3]. Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi’i (wafat th. 532 H), beliau tidak mengerjakan qunut Shubuh. Dan ketika ditanya: “Mengapa demikian?” Beliau menjawab: “Tidak ada satu pun hadits yang shah tentang masalah qunut Shubuh!!” [Lihat Silsilatul Ahaadits adh-Dha’iifah wal Maudhu’ah (II/388).]

[4]. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Tidak ada sama sekali petunjuk dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan qunut Shubuh terus-menerus. Jumhur ulama berkata: “Tidaklah qunut Shubuh ini dikerjakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , bahkan tidak ada satupun dalil yang sah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan demikian.” [Lihat Zaadul Ma’aad (I/271 & 283), tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdul Qadir al-Arnauth]

[5]. Syaikh Sayyid Sabiq berkata: “Qunut Shubuh tidak disyari’atkan kecuali bila ada nazilah (musibah) itu pun dilakukan di lima waktu shalat, dan bukan hanya di waktu shalat Shubuh. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq, mereka semua tidak melakukan qunut Shubuh.” [Lihat Fiqhus Sunnah (I/167-168)]

PENJELASAN TENTANG PENDAPAT MEREKA YANG MENYUNNAHKANNYA
Sebagian orang ada yang mengatakan: “Madzhab kami berpendapat sunnah berqunut pada shalat Shubuh, baik ada nazilah ataupun tidak ada nazilah.”

Apabila kita perhatikan, maka kita dapat mengetahui bahwa yang melatarbelakangi pendapat mereka adalah ‘anggapan’ mereka tentang ke-shahih-an hadits tentang qunut Shubuh secara terus-menerus.
Akan tetapi setelah pemeriksaan, kita mengetahui bahwa semua hadits tersebut ternyata dha’if (lemah) semuanya.

Kemungkinan besar, mereka belum mengetahui tentang kelemahan hadits-hadits tersebut. Karena ma-nusia tetaplah manusia, siapapun dia, dan sifat manusia itu bisa benar dan bisa juga salah. Dan Imam asy-Syafi’i sangat memahami hal ini, sehingga beliau berkata:

"Apabila kamu mendapati dalam kitabku pendapat-pen-dapatku yang menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , maka peganglah Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku. Dalam riwayat lain beliau berkata: Ikutilah Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , dan jangan kamu menoleh kepada pendapat siapapun.”

Diriwayatkan oleh Imam al-Harawi, al-Khathib al-Baghdadi, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab [1]. Lihat kitab Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , karya Imam al-Albany..

"Setiap masalah yang sudah sah haditsnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut para ulama-ulama hadits, akan tetapi pendapatku menyelisihi hadits yang shahih, maka aku akan rujuk dari pendapatku, dan aku akan ikut hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih baik ketika aku masih hidup, maupun setelah aku wafat.”[Diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashba-hani dan al-Harwi, lihat di kitab Sifat Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karya Imam al-Albany]

“Setiap pendapatku yang menyalahi hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Itulah yang wajib diikuti, dan janganlah kamu taqlid kepadaku.” [Diriwayatkan oleh: Imam Ibnu Abi Hatim, al-Hafizh Abu Nu’aim dan al-Hafizh Ibnu ‘Asakir. Lihat kitab Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , karya Imam al-Albani.]

QUNUT NAZILAH
Qunut Nazilah adalah do’a qunut ketika musibah atau kesulitan menimpa kaum Muslimin, seperti peperangan, terbunuhnya kaum Muslimin atau diserangnya kaum Muslimin oleh orang-orang kafir. Qunut Nazilah, yaitu mendo’akan kebaikan atau kemenangan bagi kaum Muk-minin dan mendo’akan kecelakaan atau kekalahan, ke-hancuran dan kebinasaan bagi orang-orang kafir, Musy-rikin dan selainnya yang memerangi kaum Muslimin. Qunut Nazilah ini hukumnya sunnat, dilakukan sesudah ruku’ di raka’at terakhir pada shalat wajib lima waktu, dan hal ini dilakukan oleh Imam atau Ulil Amri.

Imam at-Tirmidzi berkata: “Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaq bin Rahawaih telah berkata: “Tidak ada qunut dalam shalat Fajar (Shubuh) kecuali bila terjadi Nazilah (musibah) yang menimpa kaum Muslimin. Maka, apabila telah ter-jadi sesuatu, hendaklah Imam (yakni Imam kaum Mus-limin atau Ulil Amri) mendo’akan kemenangan bagi ten-tara-tentara kaum Muslimin.” [2]

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma , bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mela-kukan qunut satu bulan berturut-turut pada shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, ‘Isya dan Shubuh di akhir setiap shalat, yakni apabila beliau telah membaca “Sami’allaahu liman hamidah” dari raka’at terakhir, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan atas mereka, satu kabilah dari Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan dan Ushayyah sedangkan orang-orang yang di belakang beliau mengaminkannya. [3]

Hadits-hadits tentang qunut Nazilah banyak sekali, dilakukan pada shalat lima waktu sesudah ruku’ di raka’at yang terakhir.

Imam an-Nawawi memberikan bab di dalam Syarah Muslim dari Kitabul Masaajid, bab 54: Istihbaabul Qunut fii Jami’ish Shalawat idzaa Nazalat bil Muslimin Nazilah (bab Disunnahkan Qunut pada Semua Shalat (yang Lima Waktu) apabila ada musibah yang menimpa kaum Muslimin) [4]

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Majmu’ Syarahil Muhadzdzab I/63.
[2]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah at-Tirmidzi II/434.
[3]. Abu Dawud no.1443, al-Hakim I/225 dan al-Baihaqi II/200 & 212, lihat Irwaa-ul ghaliil II/163.
[4]. Lihat juga masalah ini dalam Zaadul Ma’aad I/272-273, Nailul Authar II/374-375 –muhaqqaq.       

Manfaat Menundukkan Pandangan

Imam Ibnul Qoyyim Al Jauzi berkata di dalam kitabnya “Ad Da’u wad Dawa’” setidak-tidaknya ada 10 faedah dari menjaga pandangan, semoga ini dapat menjadi motivasi bagi kita.

1. Melaksanakan perintah Allah yang mengantarkan puncak kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhiratnya. “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, mereka menundukkan pandangan mereka”

2. Menghadang pengaruh dari panah beracun (iblis) yang dapat menyebabkan kebinasaan pada hati.
 
3. Membuat hati dekat dengan Allah, sebaliknya mengumbar pandangan mengakibatkan hati terpisah dan jauh dari Allah.
 
4. Menguatkan hati dan menyenangkannya, sebaliknya mengumbar pandangan melemahkan hati dan membuatnya gundah.

5. Menyinari hati, oleh karena itu Allah menyebutkan cahaya setelah perintah menjaga pandangan. Allah ta’ala berfirman, “katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga pandangannya” (QS An-Nur: 30) kemudian Allah berfirman “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (QS An Nur: 35)

6. Memunculkan firasat yang benar, yang dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Allah ta’ala membalas amalan seorang hamba dengan apa-apa yang sesuai dengan amalan tersebut. Menjaga pandangan dari hal-hal yang Allah haramkan akan berdampak diberikannya cahaya di penglihatannya dan membukakan baginya ilmu dan iman serta pengetahuan dan firasat yang benar.

7. Membuat hati istiqomah, berani, dan kuat.

8. Menyulitkan syaitan untuk masuk ke dalam hati, karena syaitan masuk dengan sebab mengumbar pandangan dan syaitan akan lebih cepat menembus ke dalam hati melebihi kecepatan tembusnya udara ke dalam ruang hampa.

9. Akan menyibukkan hati kepada pemikiran yang membawa maslahat dan manfaat bagi hati.

10. Bahwa antara mata dan hati ada jendela dan jalan yang menghubungkan keduanya, akan baik salah satunya jika satu yang lain baik, dan akan rusak salah satunya jika satu yang lain rusak. Maka jika hatinya rusak, rusaklah pandangannya, dan jika pandangannya rusak, maka rusaklah hatinya. Demikian juga sebaliknya.

Friday 6 April 2012

Qadha Shalat Yang Tertinggal



      Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu , dia berkata. 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa lupa shalat, hendaklah dia mengerjakannya ketika mengingatnya, tiada kafarat baginya kecuali yang demikian itu'. Lalu beliau membaca firman Allah. 'Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku'".

      Dalam riwayat Muslim disebutkan. "Barangsiapa lupa shalat atau tertidur sehingga tidak mengerjakannya, maka kafaratnya ialah mengerjakannya selagi mengingatnya".

MAKNA HADITS
      Shalat memiliki waktu tertentu dan terbatas, awal dan akhirnya, tidak boleh memajukan shalat sebelum waktunya dan juga tidak boleh mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya.

      Namun jika seseorang tertidur hingga tertinggal mengerjakannya atau dia lupa hingga keluar dari waktunya, maka dia tidak berdosa karena alasan itu. Dia harus langsung mengqadha'nya selagi sudah mengingatnya dan tidak boleh menundanya, karena kafarat pengakhiran ini ialah segera mengqadha'nya. Maka Allah berfirman.

"Artinya : Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku" [Thaha : 14]

      Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat ini ketika menyebutkan hukum ini, mengandung pengertian bahwa pelaksanaan qadha' shalat itu ialah ketika sudah mengingatnya.

PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN ULAMA
Para ulama saling berbeda pendapat, apakah boleh menundanya ketika sudah mengingatnya ataukah harus langsung mengerjakannya .?

Jumhur ulama mewajibkan pelaksanaannya secara langsung. Mereka yang berpendapat seperti ini ialah tiga imam, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan para pengikut mereka. Sementara Asy-Syafi'i mensunatkan pelaksanaannya secara langsung dan boleh menundanya.

Asy-Syafi'i berhujjah bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat tertidur, mereka tidak melaksanakan qadha' shalat di tempat mereka tidur. Tapi beliau memerintahkan agar mereka menghela hewan-hewan mereka ke tempat lain, lalu beliau shalat di tempat tersebut. Sekiranya qadha' ini wajib dilaksanakan secara langsung seketika itu pula, tentunya mereka juga shalat di tempat mereka tertidur.
      Adapun jumhur berhujjah dengan hadits dalam bab ini, yang langsung menyebutkan shalat secara langsung. Mereka menanggapi hujjah Asy-Syafi'i, bahwa makna langsung di sini bukan berarti tidak boleh menundanya barang sejenak, dengan tujuan untuk lebih menyempurnakan shalat dan memurnikannya. Boleh menunda dengan penundaan yang tidak seberapa lama untuk menunggu jama'ah atau memperbanyak orang yang berjama'ah atau lainnya.
      Masalah ini dikupas tuntas oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab 'Ash-Shalat' dan dia menegaskan pendapat yang menyatakan pembolehan penundaannya.
      Mereka saling berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkan secara sengaja hingga keluar waktunya, apakah dia harus mengqadha'nya ataukah tidak..?

      Kami akan meringkas topik ini dari uraian Ibnul Qayyim di dalam kitab 'Ash-Shalat', karena uaraiannya di sana disampaikan secara panjang lebar.

      Para ulama telah sepakat bahwa orang yang menunda shalat tanpa alasan hingga keluar dari waktunya, mendapat dosa yang besar. Namun empat imam sepakat mewajibkan qadha' di samping dia mendapat hukuman, kecuali dia memohon ampun  kepada Allah atas perbuatannya itu.
      Ada segolongan ulama salaf dan khalaf yang menyatakan, siapa menunda shalat hingga keluar dari waktunya tanpa ada alasan, maka tidak ada lagi qadha' atas dirinya sama sekali, bahwa qadha'nya tidak akan diterima, dan dia harus bertaubat dengan 'taubatan nashuha', harus memperbanyak istighfar dan shalat nafilah.
      Orang-orang yang mewajibkan qadha' berhujjah bahwa jika qadha' ini diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di ma'afkan, maka kewajibannya atas orang yang tidak dima'afkan dan orang yang durhaka jauh lebih layak. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat pernah shalat Ashar setelah masuk waktu Maghrib pada perang Khandaq. Sebagaimana yang diketahui, mereka tidak tertidur dan tidak lupa, meskipun sebagian di antara mereka benar-benar lupa, tapi toh tidak mereka semua lupa. Yang ikut mendukung kewajiban qadha' ini ialah Abu Umar bin Abdul-Barr.

      Adapun di antara orang-orang yang tidak mewajibkan qadha' bagi orang yang sengaja menunda shalat ialah golongan Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Di dalam kitab Ash-Shalat, Ibnul Qayim menyebutkan berbagai macam dalil untuk menolak alasan yang tidak sependapat dengannya. Di antaranya ialah apa yang dapat di pahami dari hadits ini, bahwa sebagaimana yang dituturkan, kewajiban qadha' ini tertuju kepada orang yang lupa dan tertidur. Berati yang lainnya tidak wajib. Perintah-perintah syari'at itu dapat dibagi menjadi dua macam : Tidak terbatas dan temporal seperti Jum'at hari Arafah. Ibadah-ibadah semacam ini tidak diterima kecuali dilaksanakan pada waktunya. Yang lainnya ialah shalat yang ditunda hingga keluar dari waktunya tanpa alasan.

      Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . "Barangsiapa mendapatkan satu raka'at dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar", sekiranya shalat Ashar itu dikerjakan setelah Maghrib, justru lebih benar dan mutlak, tentu orangnya lebih mendapatkan shalat Ashar, baik dia mendapatkan satu raka'at atau kurang  dari satu raka'at atau dia sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun darinya. Orang-orang yang berperang juga diperintahkan shalat, meski dalam situasi yang genting dan rawan. Semua itu menunjukkan tekad pelaksanannya pada waktunya. Sekiranya di sana ada rukhsah, tentunya mereka akan menundanya, agar mereka dapat mengerjakannya lengkap degan syarat dan rukun-rukunnya, yang tidak mungkin dapat dipenuhi ketika perang sedang berkecamuk. Hal ini menunjukkan pelaksanaannya pada waktunya, di samping mengerjakan semua yang diwajibkan dalam shalat dan yang disyaratkan di dalamnya.

Tentang tidak diterimanya qadha' orang yang menunda shalat hingga keluar dari waktunya, bukan berarti dia lebih ringan dari orang-orang yang diterima penundaannya. Mereka ini tidak berdosa. Kalaupun qadha'nya tidak diterima, hal itu dimaksudkan sebagai hukuman atas dirinya. Ibnul Qayyim menguaraikan panjang lebar masalah ini. Maka siapa yang hendak mengetahuinya lebih lanjut, silakan lihat kitabnya.

Uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah ini  disampaikan di dalam 'Al-Ikhiyarat'. Dia berkata, "Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyari'atkan qadha' bagi dirinya dan tidak sah qadha'nya. Tapi dia harus memperbanyak tathawu'. Ini juga merupakan pendapat segolongan orang-orang salaf seperti Abu Abdurrahman rekan Asy-Syafi'i, Daud dan para pengikutnya. Tidak ada satu dalil pun yang bertentangan dengan pendapat ini dan bahkan sejalan dengannya. Yang condong kepada pendapat ini ialah Syaikh Shiddiq hasan di dalam kitabnya, 'Ar-Raudhatun Nadiyyah'.

Inilah yang dapat kami ringkas tentang masalah ini, dan Allah-lah yang lebih mengetahui mana yang lebih benar.

KESIMPULAN HADITS DAN HUKUM-HUKUMNYA
[1]. Kewajiban qadha' shalat bagi orang yang lupa dan tertidur, yang
dilaksanakan ketika mengingatnya.
[2]. Kewajiban segera melaksanakannya, karena penundaannya setelah
mengingatkannya sama dengan meremehkannya.
[3]. Tidak ada dosa bagi orang yang menunda shalat bagi orang yang mempunyai alasan, seperti lupa dan tertidur, selagi dia tidak mengabaikannya, seperti tidur setelah masuk waktu atau menyadari dirinya tidak memperhatikan waktu, sehingga dia tidak mengambil sebab yang dapat membangunnkannya pada waktunya. Kafarat yang disebutkan di sini bukan karena dosa yang dilakukan, tapi makna kafarat ini, bahwa karena meninggalkan shalat itu dia tidak bisa mengerjakannya yang lainnya, seperti memberi makan, memerdekakan budak atau ketaatan lainnya. Berarti dia tetap harus mengerjakan shalat itu.